Pages - Menu

04 September 2010

Mewujudkan Visi Kerakyatan Undang-Undang Perpustakaan


Oleh Romi Febriyanto Saputro*
Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 23 Januari 2007, Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi mengesahkan RUU Perpustakaan menjadi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Ironisnya, saat ini kondisi perpustakaan di tanah air belum banyak mengalami perubahan. Padahal, undang-undang ini memiliki visi kerakyatan yang cukup kuat. Visi untuk memberdayakan rakyat melalui perpustakaan.
Visi kerakyatan ini tampak dari cara undang-undang ini mendefiniskan perpustakaan. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan. Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.
Dari uraian di atas ada satu benang merah yang dapat ditarik bahwa Undang-Undang  Nomor 43 Tahun 2007 ini menghendaki agar perpustakaan dikembangkan dengan visi kerakyatan. Kebijakan pengembangan perpustakaan harus memihak kepentingan rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ada empat aspek dari undang-undang ini yang mengandung semangat untuk memihak rakyat.
Pertama, perpustakaan harus menjadi alat bagi pemerintah untuk memberdayakan rakyat. Hal ini sesuai dengan amanah pasal 7 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 yang mewajibkan pemerintah untuk :
a.   Mengembangkan sistem nasional perpustakaan sebagai upaya mendukung sistem pendidikan nasional;
b.   Menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat;
c.   Menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di tanah air;
d.   Menjamin ketersediaan keragaman koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia);
e.   Menggalakkan promosi gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan;
f.    Meningkatkan kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan;
g.   Membina dan mengembangkan kompetensi, profesionalitas pustakawan, dan tenaga teknis perpustakaan;
h.   Mengembangkan Perpustakaan Nasional; dan
i.    Memberikan penghargaan kepada setiap orang yang menyimpan, merawat, dan melestarikan naskah kuno.
      Kedua,  undang-undang perpustakaan ini juga memberikan jaminan hak asasi bagi rakyat untuk mendapatkan akses layanan perpustakaan secara terbuka dan transparan. Pasal 5 mengamanahkan :
(1) Masyarakat mempunyai hak yang sama untuk:
a.Memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan;
b.Mengusulkan keanggotaan Dewan Perpustakaan;
c. Mendirikan dan/atau menyelenggarakan perpustakaan;
d.Berperan serta dalam pengawasan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perpustakaan.
(2) Masyarakat di daerah terpencil, terisolasi, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak memperoleh layanan perpustakaan secara khusus.
(3)  Masyarakat yang memiliki cacat dan/atau kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh layanan perpustakaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing.
      Ketiga, perpustakaan umum merupakan sarana tepat untuk mendekatkan rakyat dengan dunia buku. Pasal 22 menegaskan hal ini :
(1).    Perpustakaan umum diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, serta dapat diselenggarakan oleh masyarakat.
(2)     Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan perpustakaan umum daerah yang koleksinya mendukung pelestarian hasil budaya daerah masing-masing dan memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
(3)     Perpustakaan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan mengembangkan sistem layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
(4)     Masyarakat dapat menyelenggarakan perpustakaan umum untuk memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
(5)     Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota melaksanakan layanan perpustakaan keliling bagi daerah yang belum terjangkau oleh layanan perpustakaan menetap.
Keempat, mewajibkan setiap sekolah untuk menyelenggarakan perpustakaan sekolah sekaligus mengalokasikan anggaran yang jelas. Pasal 23 merepresentasikan hal ini :
(1) Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.
(2) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan pendidik.
(3) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan.
(4) Perpustakaan sekolah/madrasah melayani peserta didik pendidikan kesetaraan yang dilaksanakan di lingkungan satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5)  Perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
(6)  Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.
            Untuk mewujudkan visi kerakyatan, perlu adanya revolusi kebijakan pengembangan kepustakawanan nasional, pertama, penguatan struktur kelembagaan. Tidak adanya kesatuan struktur perpustakaan merupakan kendala tersendiri bagi pengembangan perpustakaan di tanah air. Seperti diketahui bersama antara perpustakaan nasional, perpustakaan provinsi, dan perpustakaan umum tidak ada koordinasi struktural, melainkan sebatas koordinasi fungsional. Belum lagi dengan perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi  yang berada di bawah kewenangan Departemen/Dinas Pendidikan Nasional.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah perpustakaan merupakan salah satu lembaga teknis daerah yang berbentuk Badan Perpustakaan untuk daerah provinsi dan berbentuk Kantor Perpustakaan untuk daerah kabupaten/kota.
Tetapi, kebijakan ini sering disikapi dengan ”political will”pemerintah daerah yang berbeda-beda, bahkan cenderung mengesampingkan urusan perpustakaan”. Memberikan eselon terendah pada perpustakaan dan bahkan menggabungkan antara perpustakaan dan arsip dalam satu unit organisasi.
Kedua, mendekat kepada rakyat. Struktur kelembagaan yang kuat memungkinkan pengembangan perpustakaan hingga ke tingkat kecamatan dan desa. Sehingga dapat menjangkau masyarakat yang berada di daerah terpencil sekalipun. Sudah saatnya perpustakaan diposisikan sama pentingnya dengan pendidikan yang juga memiliki cabang dinas hingga ke tingkat kecamatan. Dengan tingkat organisasi yang lebih independen diharapkan perpustakaan dapat menjadi basis pembelajaran masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 memberikan peluang untuk melakukan hal tersebut, : “Pada Lembaga Teknis Daerah Kabupaten/Kota dapat, dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis tertentu untuk melaksanakan sebagian tugas Lembaga Teknis daerah tersebut yang wilayah kerjanya dapat meliputi lebih dari satu Kecamatan”.
Dengan mendirikan UPTD Perpustakaan Umum di setiap ibukota kecamatan diharapkan perpustakaan dapat menyentuh lapisan gross root di pedesaan, sehingga perpustakaan telah memasuki medan kerja yang sebenarnya. Minat baca masyarakat akan sulit untuk ditingkatkan jika hanya ada satu perpustakaan umum di ibukota kabupaten/kota, mengingat sebagian besar masyarakat tinggal di desa-desa.
Masyarakat di pedesaan inilah yang selama ini terlupakan oleh pengambil kebijakan peningkatan minat baca masyarakat, karena pembangunan perpustakaan umum berhenti hanya sampai di ibukota kabupaten saja.
Ketiga, berhenti menyalahkan rakyat. Minat baca masyarakat desa yang rendah sering menjadi kambing hitam. Padahal mungkin saja rendahnya minat baca masyarakat desa karena tidak adanya perpustakaan desa yang berkualitas. Bahkan kebanyakan desa di tanah air nihil dari perpustakaan desa.
Minat baca masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan kualitas perpustakaan yang ada. Jadi tidak perlu heran jika minat baca masyarakat kita masih rendah, karena memang tidak didukung dengan perpustakaan yang berkualitas. Juga tidak perlu heran jika masyarakat Jepang memiliki budaya baca yang tinggi, karena didukung oleh perpustakaan yang “qualified”. Jadi perlu keseriusan pemerintah untuk memajukan perpustakaan .
Menurut Putu Luxman Pendit (2008), gaya kolonial masih melekat dalam kepustakawanan Indonesia sampai sekarang, yaitu gaya menyalahkan masyarakat dan rakyat dengan menuduh mereka “tidak punya minat baca”. Lalu, setelah menyalahkan masyarakat banyak, Kepustakawanan Indonesia juga tidak menawarkan solusi selain “mendukung program pemerintah” yang sebenarnya lebih peduli pada statistik angka penduduk melek-huruf daripada budaya baca yang berbasis pada kemerdekaan berpikir dan keluasan pengetahuan.
Keempat, memisahkan struktur perpustakaan sekolah dari sekolah. Jika perpustakaan sekolah masih dalam kekuasaan sekolah,  maka kewajiban yang diamanahkan undang-undang perpustakaan bagi sekolah untuk menganggarkan minimal 5 persen dari APBS untuk perpustakaan sekolah akan cenderung diabaikan. Mengapa ? Karena bagi kepala sekolah perpustakaan bukan merupakan lahan subur untuk memperoleh ”penghargaan”. Perpustakaan bagi kepala sekolah hanya menjadi sumber berkurangnya pendapatan sekolah. Baginya, perpustakaan merupakan skala prioritas terakhir.
Struktur organisasi perpustakaan sekolah dapat langsung berada di bawah  Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota. Jadi, perpustakaan sekolah mesti berubah nama menjadi UPT Perpustakaan Sekolah yang dikoordinir oleh UPT Perpustakaan Umum Kecamatan. UPT Perpustakaan Umum Kecamatan berada di bawah koordinasi Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota. Dengan formasi semacam ini perpustakaan sekolah diharapkan akan lebih powerfull.
Kelima, mengangkat pustakawan kontrak. Untuk mewujudkan perpustakaan sekolah yang berkualitas perlu didukung revolusi di bidang sumber daya manusia. Sudah menjadi rahasia umum, tenaga pengelola perpustakaan sekolah selama ini hanya menjadi tugas sampingan dari guru  kelas atau guru bidang studi. Padahal bapak – ibu guru tercinta ini sudah memiliki tugas yang cukup berat yaitu mengajar peserta didik di depan kelas. Akibatnya, mereka tak punya waktu luang untuk mengelola perpustakaan dengan baik dan benar.
Masalah ini dapat  diatasi dengan melakukan pengangkatan tenaga pustakawan kontrak di setiap perpustakaan sekolah. Kehadiran pustakawan kontrak ini cukup penting untuk menjamin agar program perpustakaan sekolah dapat berjalan dengan optimal. Sesungguhnya kehadiran pustakawan kontrak ini sama pentingnya dengan kehadiran guru kontrak atau dulu sering disebut dengan istilah guru bantu yang kini hampir semuanya sudah diangkat menjadi CPNS.
Kehadiran pustakawan kontrak ini dapat diperluas hingga menjangkau seluruh perpustakaan umum kecamatan maupun desa. Agar kehadiran perpustakaan yang dekat dengan rakyat dapat segera terwujud.
* Romi Febriyanto Saputro, S. IP adalah Kasi Binalitbang pada Kantor Perpustakaan Daerah Kab. Sragen
**Artikel ini telah dimuat di Majalah Buletin Pustakawan Edisi ke-1 Tahun 2010/ Januari - April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar