PERBINCANGAN seputar Islam dan negara hampir selalu menarik untuk diangkat. Tak saja karena ia bersinggungan secara ideologis dengan 1,57 miliar pemeluknya di seluruh dunia, tetapi juga bisa menimbulkan konflik bahkan disintegrasi dan perang yang tak berkesudahan. Perbedaan pendapat dalam masalah itu bukan saja perbedaan yang paling pertama terjadi di kalangan umat Islam, tapi juga perbedaan yang paling ''rawan'' dan paling sering memakan korban.
Realita itulah yang bahkan bisa kita lihat sejak masa-masa awal Islam, tepatnya setelah Rasulullah wafat. Perang Jamal adalah perang internal pertama umat Islam. Perang itu pun terjadi karena perbedaan pendapat dalam soal kebijakan pemerintah. Siti Aisyah ketika itu mengangkat senjata kepada Ali. Siti Aisyah, Talhah, dan Zubair menghendaki persoalan pembunuhan Usman diselesaikan secepatnya. Sementara itu, Ali yang sudah dibaiat sebagian sahabat merasa kondisi yang masih kacau belum memungkinkan untuk pelaksanaan qishas. Hingga kemudian terjadilah perang Jamal tersebut.
Adapun dalam kaitannya dengan realitas kekinian, Agus Mustofa dalam bukunya ini mencoba bertanya, ''Manakah menurut Anda negara Islam yang paling islami: Arab Saudi, Iran, Iraq, Mesir, Sudan, Afghanistan, Jordania, Pakistan, Malaysia, ataukah Brunei Darussalam?''
Sebuah pertanyaan sederhana namun tak mudah untuk dijawab. Ketika kita menyodorkan Arab Saudi yang menerapkan syariah Islam, ternyata di sana masih ada kebijakan yang mengekang wanita. Di sana, kita juga mendapati bentuk pemerintahan yang berbentuk kerajaan. Padahal, kita tahu bahwa Rasulullah selaku pemimpin negara Madinah ketika itu tidaklah disebut sebagai raja dan tidak mewariskan tampuk kepemimpinan kepada kerabatnya. Tidak juga Abu Bakar, Umar, Ustman, maupun Ali.
Demikian juga ketika kita berbicara tentang Mesir, Prof Dr Rafaat -anggota Komisi Fikih dan Fatwa Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah Mesir- dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya masyarakat Mesir sangatlah dekat dengan ulama. Namun, juga tak bisa dimungkiri bahwa bentuk resmi negara Mesir adalah negara sekuler.
Lantas, bagaimana sebenarnya bentuk negara yang islami itu?
Perbedaan-perbedaan bentuk pemerintahan ''islami'' di negara berpenduduk muslim adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan. Ada yang tekstualis seperti Arab Saudi, namun ada juga yang substansialis semisal Mesir dan Indonesia. Lalu, di mana posisi Agus Mustofa? ''Buku yang saya tulis ini bukan dalam rangka memperjelas berbagai perbedaan-perbedaan itu, melainkan justru menyodorkan titik temu antara berbagai kalangan dengan harapan mudah-mudahan umat Islam bisa memiliki pandangan yang senada dalam hal ini,'' tulisnya dalam kata pengantar buku ke-27 serial diskusi tasawuf modernnya itu.
Agus Mustofa tidak sedang berdiri di kanan ataupun kiri, tapi dia sedang menawarkan sebuah pandangan alternatif. Hanya, berbeda dengan tulisan-tulisan ilmiah berbobot lain, Agus Mustofa mengemas persoalan paling pelik dalam umat Islam itu menjadi seperti kacang goreng. Renyah, ringan, namun bergizi. Dan, tetap dengan gaya tulisannya yang mampu menyihir para pembaca setianya, sebuah buku bergizi tinggi dengan rasa dialog dan diskusi interaktif. Tak heran, kemudian judul yang diangkatnya adalah sebuah kalimat tanya tanpa tanda tanya, Perlukah Negara Islam.
Agus Mustofa memilah buku tersebut menjadi empat bagian. Dia mengawali buku ini dengan kata pengantar singkat seputar Reformulasi Negara Islam. Bagaimana seharusnya kita melihat realitas perbedaan bentuk negara muslim dan seperti apa sesungguhnya frame work bentuk negara yang islami itu. Dengan harapan, sebelum akhirnya kita bisa memformulasi sebuah jawaban dari pertanyaan, Perlukah Negara Islam, kita bisa mengenal terlebih dahulu alur peta perjalanannya.
Di bagian pertama bangunan pemikirannya, dia mengawalinya dengan ragam potret realitas negara-negara muslim modern. Di sini dia mencoba menyusun puzzle-puzzle pemahaman yang berserakan, terkait apa itu negara Islam. Dengan runtut dia paparkan warna-warni bentuk negara muslim modern. Ada yang bersifat demografis, kerja sama lintas negara semisal OKI (Organisasi Konferensi Islam), hingga persoalan penerapan syariat Islam di berbagai negara berikut kritiknya.
Bagian kedua buku ini membahas bentuk-bentuk pemerintahan masa Islam klasik. Dimulai dengan analisis masa Abbasiyah, kemudian Muawiyah, hingga masa Khulafaurrasyidin. Yang terakhir adalah potret seperti apa negara yang Rasulullah bentuk selama memegang tampuk pemimpin pemerintahan di Madinah. Sekilas terlihat aneh, ketika Agus Mustofa membangun pemikirannya itu dengan alur mundur. Tapi, keanehan tersebut terjawab ketika kita telah sampai di subjudul terakhir bab ini, yaitu masa pemerintahan Rasulullah. Sebuah masa yang sudah seharusnya kita jadikan sumber rujukan, termasuk dalam usaha reformulasi negara Islam.
Perang dan terorisme menjadi isu utama bagian ketiga dari buku ini. Terorisme dan perang adalah dua isu utama yang sering dibenturkan kepada Islam. Entah sudah berapa ribu tulisan menyoroti isu perang dalam Islam. Hingga kemudian, terpatrilah sebuah premis, Islam disebarkan dengan pedang. Agus Mustofa menjawabnya dengan lincah. Mulai bagaimana sesungguhnya situasi ketika perintah perang itu turun dan apa saja aturan main dalam Islam ketika perang. Islam tidak berperang tanpa alasan dan tidak membunuh hanya karena perbedaan.
Bahasannya soal distorsi makna jihad kembali menjadi bukti baru bahwa perang istilah itu ada dan amat berbahaya. Hasilnya, jihad pun menjadi lekat dengan usaha teror umat Islam dan perang melawan kaum kafir. Padahal, jihad, dalam arti umumnya, bermakna perjuangan dan usaha keras. Sementara dalam Alquran, menurut Agus Mustofa, di antara lima pengertian jihad yang ada, menariknya hanya ada satu yang bermakna perang fisik. Lantas, bagaimana mungkin jihad diartikan hanya dengan satu makna tunggal, yaitu terorisme?
Terakhir, Agus Mustofa menutup bab ''tambahan'' ini dengan kesimpulan tegas bahwa pada saat tertentu tindakan perang pun bisa jadi adalah hal yang sangat rasional, bahkan bagi pencinta kedamaian di mana pun mereka berada.
Di bagian akhir buku ini, sampai pulalah kita pada sebuah formulasi negara Islam. Setelah diperbincangkan terlebih dahulu soal gambaran konsep sebuah negara madani hingga akhirnya kita siap memformulasikan jawaban, Perlukah Negara Islam.
Sebagaimana buku-buku Agus Mustofa lain, dia kerap mengangkat tema atau bahkan judul yang sebagian orang bilang kontroversial. Namun, kiranya ada satu hal menarik yang perlu dicatat. Agus Mustofa menulis dan mengangkat judul buku-bukunya tersebut dengan jujur dan bertanggung jawab. Dalam arti, tidak hanya menarik minat pasar dengan bombastisisme judul, tapi dia benar-benar jujur bahwa apa yang dia angkat sebagai judul adalah kesimpulan isi bukunya. Itulah salah satu kekuatan utama buku-bukunya hingga selalu berhasil menjadi best seller di pasaran, selain gaya bahasanya yang ringan dan membumi tentunya. (*)
*) Nailunni'am , mahasiswa Jurusan Tafsir Universitas al-Azhar Mesir dan Pimpinan Umum Majalah La Tansa IKPM Kairo
Judul Buku: Perlukah Negara Islam
Penulis: Agus Mustofa
Penerbit: Padma Press, Surabaya
Cetakan: I, Juli 2010
Tebal: 272 halaman
Sumber, Jawa Pos, 1 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar