Pages - Menu

02 Juni 2010

THE MAN WHO LOVED BOOKS TOO MUCH

Oleh Muhidin M Dahlan

“Gila atau waras, mereka menyelamatkan peradaban” – Wilmarth Sheldon Lewis

Secara dialektis di dunia buku terdapat dua golongan yang terus-menerus berseteru: (1) para pencela dan pemangsa buku dan (2) pemburu dan pembela buku.

Untuk golongan pertama, bisa disebutkan 7 jenis: api, air, kutu, debu, pembakar buku, negara (totaliter) dan aparatusnya, dan pemalas (baca buku). Ketujuh setan buku itulah yang terus-menerus mengusik dan merongrong dengan pelbagai cara buku-buku yang berseberangan dengan keyakinan mereka.

Sementara itu di sudut lain ada pembela buku yang tak kalah heroik dan gilanya melakukan pembelaan atas buku. Alllison Hoover Bartlett lewat buku The Man Who Loved Book Too Much membantu menunjukkan jenis watak penggila buku ini secara blak-blakan, terus-terang, ironi, dengan narasi-narasi sederhana.

Dua tokoh yang memiliki satu kecintaan tapi berada pada dua cara yang berseberangan dijadikan Barlett sebagai kendaraan kepada pembaca untuk memasuki dunia buku yang lebih sublim.

John Gilkey, salah satu tokoh historis dalam buku ini, adalah bibliomaniac, tapi sekaligus bibliocrime. Dia adalah maling buku nomor satu di seantero Amerika yang terkenal licin dengan penyamaran yang sempurna.

Walaupun maling, cita-citanya sebetulnya mulia. Ia ingin memiliki perpustakaan, punya koleksi buku-buku utama dan langka. Paling tidak seratus buku terbaik sepanjang masa menurut versi Modern Library.

Masalahnya dia miskin. Ia tak punya timbunan uang seperti halnya kolektor-kolektor buku langka segagah ahli botani Jefferson Fritpatrick yang saat mangkat meninggalkan 90 ton buku. Karena itu, tujuan mulianya, apa boleh buat, mesti ditempuh dengan cara yang keliru: mencuri.

Namun ia adalah maling yang lihai dan pola pencurian yang nyaris berbeda sama sekali dengan pendahulunya yang nyaris klasik seperti Stephen Carie Blumberg yang mencuri 23.600 judul buku dari 268 perpustakaan di 45 negara bagian. Curiannya setara 20 juta dollar dan dibutuhkan 3 petikemas, 879 peti besar, dan 17 kuli angkut yang bekerja selama 2 hari.

Gilkey juga berbeda dengan Guglielmo Libri (1803-1869), si juru katalog manuskrip sejarah di pelbagai perpustakaan umum di Prancis. Namun, profesi itu juga yang mengantar Libri menjadi maling buku langka.

Caranya: dia menukar buku-buku langka dengan buku-buku yang tak terlalu berharga. Tapi yang kerap dilakukannya adalah membawa pulang buku yang sengaja tak dimasukannya dalam katalog. Hasil curiannya diperkirakan 1.5 juta euro di zaman sekarang. Libri dihukum 10 tahun penjara setelah ditangkap pada 1850. (hlm 196)

Gilkey tidak beroperasi di perpustakaan seperti Libri. Tak juga mesti memanjat dinding perpustakaan tengah malam untuk menguras isinya seperti dilakukan Blumberg.

Gilkey hanya memalsukan kartu kredit pelanggan di toko baju tempatnya numpang kerja. Dengan kartu kredit palsu itu ia menipu toko-toko buku langka yang bertebaran di Amerika. Sebut saja Kayo, Argonaut, Brick Row, Thomas Goldwasser, Black Oak Books, Jeffrey Thomas Fine and Rare Books, Robert Dagg, dan Mo’e Books. (hlm. 224)

Sementara di sudut lain, ada kisah Ken Sanders, seorang makelar buku terkenal. Ia dibuat frustasi oleh rentetan hilangnya buku langka dalam jaringan ABAA (semacam organisasi kolektor dan toko-toko buku langka).

Lantaran polisi hanya bisa geleng-geleng kepala oleh jenis kriminal buku ketika dilaporkan, Sanders pun memutuskan konversi profesi menjadi bibliodick. Sejenis intel partikelir untuk mengusut pencurian buku.

Dari drama adu kelihaian dua sosok bibliomania ini kita kemudian dihamparkan mozaik cerita bahwa ada sekelompok manusia yang melihat dan memperlakukan bukus secara ganjil.

Bagi Gilkey, buku adalah benda visual yang tampak menarik ketika berjajar di rak (hlm 70). Karena itu ia memimpikan sebuah perpustakaan pribadi di mana dengan akumulasi buku di dalamnya Gilkey yang miskin menancapkan impian suatu saat menjadi bangsawan (hlm 209). Lantaran melihat buku sebagai benda visual, ia bermimpi akan menyewa seniman untuk memvisualkan seratus novel terbaik yang disukainya dan ia akan menggelar pameran besar untuk itu.

Sanders tak kalah sengitnya. Baginya, ketika memegang sebuah buku yang sudah tua dan buram, terkadang dia bisa merasakan nilainya dengan cara misterius yang sama dengan cara petani tembakau menilai cuaca yang akan datang berdasarkan aroma tertentu di udara. (hlm 200)

Karena itu, buku mestinya didapatkan karena rasa cinta dan kegembiraan terhadapnya. Atau dalam kata-kata kolektor Eugene Field yang menulis The Love Affairs of a Bibliomaniac (1986): “Terlalu sedikit orang yang sepertinya menyadari bahwa buku memiliki perasaan. Tetapi aku tahu sesuatu hal lebih baik daripada orang lain, yaitu buku-bukuku mengenalku dan mencintaiku.”

Menganggap buku sebagai objek investasi—sebagaimana kebanyakan kolektor yang tak suka buku dan baunya—akan mengubahnya menjadi sekadar barang dan komoditas. Hal itu akan mengurangi nilai warisan budayanya dan tidak hanya mengecilkan suatu buku, tapi juga pengarang dan pembacanya.

“Serahkan masa depan perut babi itu kepada Wall Street,” geram Sanders. (hlm 114)

Namun para kolektor tak bergeming. Di tangan kolektor inilah harga buku mirip lukisan: menjadi tak wajar di mata makelar-makelar di bursa saham. Jika lukisan yang diburu adalah kepemilikan satu-satunya, maka buku bagi kolektor, selain manuskrip awal, adalah edisi pertama. (hlm 126)

Dan jangan harap buku itu dibaca. Mereka seperti mengikuti dengan khusyuk nasihat Winston S. Churchill bahwa ketertarikan atas buku adalah apa yang disimbolkan oleh buku, dan bukan ceritanya.

“Apa yang harus kulakukan dengan semua bukuku? Baca mereka. Tapi jika tak bisa membacanya, pegang mereka, atau tepatnya timang mereka. Pandangi mereka. Biarkan terbuka. Jadikan temanmu. Jika tak bisa, setidaknya jadikan kenalanmu. Jika mereka tidak bisa memasuki lingkaran kehidupanmu, setidaknya jangan ingkari keberadaan mereka,” kata Churchill. (hlm. 105)

Bagi pemburu, pembela, dan pencinta buku yang kutipan kisah-kisahnya diorkestrasi oleh Barlett dalam buku ini, justru was-was dan jerih bahwa yang lebih bengis ketimbang pencurian buku oleh bibliomania seperti Gilkey, Libri, atau Blumberg, ternyata adalah penghancuran.

Sejak Qin Shi Huang di Cina yang pada tahn 213 SM memerintahkan pembakaraan semua buku bertema pertanian, pengobatan, atau ramalan, hingga pembakaran 25 ribu buku sastra yang dilakukan Nazi.

Menurut Barlett, dorongan menakutkan untuk menghancurkan atau menekan buku merupakan pengakuan terhadap kekuatannya. Dan hal ini tidak hanya terjadi pada naskah ilmu pengetahuan, politik, dan filsafat, tapi juga buku puisi dan fiksi yang tenang, yang bagaimana pun memiliki kapasitas besar untuk mengubah kita. (hlm. 256)

Oleh karena itu, para pembela dan pemburu buku ini akan melakukan tindakan apa saja untuk melawan agresi para pemusnah dan pembenci buku. Bahkan yang paling absurd sekalipun,s eperti dalam adegan akhir film Fahrenheit 451 (1966): sekelompok pemuja buku menghapal semua isi buku sebelum dihancurkan oleh pemangsa-pemangsanya.

Judul : THE MAN WHO LOVED BOOKS TOO MUCH
Penulis : Allison Hoover Bartlett
Penerjemah : Lulu Fitri Rahman
Editor : Indradya Susanto Putra
Genre : Kisah Nyata
Penerbit : Alvabet
Cetakan : I, April 2010
Ukuran : 13 x 20 cm (plus flap 8 cm)
Tebal : 300-an halaman
ISBN : 978-979-3064-81-9
Harga : Rp. 59.900,-

Sumber: Jawa Pos, 30 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar