Oleh: Agus Suman
KEBIJAKAN bank sentral (BI) untuk tidak latah mengekor pada kebijakan negara lain, yakni mengerek acuan suku bunga, tentu akan semakin mencerahkan panorama ekonomi dalam negeri kita (Jawa Pos, 23/3). Bahkan, hal tersebut akan semakin mengukuhkan fundamental ekonomi kita yang relatif membaik. Kondisi itu tentu akan menjadi "gula-gula" bagi investasi. Sayang, hingga triwulan pertama 2010 ini, hanya pasar finansial yang dialiri dana asing dengan nilai yang cukup fantastis.
Hal tersebut, menurut banyak kalangan, perlu diwaspadai. Bahkan, melihat porsi kepemilikan asing, khususnya dalam surat berharga negara (SBN) yang semakin meroket, beberapa pihak menganjurkan pembatasan investasi pada instrumen ini.
Anjuran tersebut langsung ditolak oleh Dirjen Pengelolaan Utang Kementrian Keuangan Rahmat Waluyanto. Alasannya, membatasi langkah asing adalah kebijakan yang tidak bersahabat. Menurut dia, mengerem dana asing akan menjadi bibit ketidakpercayaan pasar. Dana dari luar tersebut dianggap menjadi aktor utama yang memeriahkan pasar finansial dalam negeri.
Memang terasa sekali, dari pernyataan tersebut, investasi asing meski dalam bentuk investasi jangka pendek yang dilabuhkan dalam SBN masih menjadi cakrawala. Padahal, kecemasan justru hadir dari sifat dana asing tersebut. Karena itu, lebatnya dana asing yang mengguyur pasar modal sebenarnya memiliki sisi kerentanan.
Porsi dana asing dari waktu ke waktu terus meningkat. Bila pada 2004 jumlahnya masih Rp 10,74 triliun atau hanya 2, 69 persen, pada 2005 angkanya merangkak naik, menjadi Rp 31,09 triliun atau sekitar 7,78 persen. Pada dua tahun berikutnya, yakni 2006 dan 2007, komposisi kepemilikan asing terhadap SBN semakin besar dari 13,12 persen (2006) menjadi 16,36 persen (2007) atau dari Rp 54,92 triliun bertambah mencapai Rp 78,16 triliun. Pada 2008 jumlahnya makin membiak, yakni Rp 87,61 triliun atau menguasai 16,66 persen.
Bahkan, tahun kemarin kepemilikan asing pada SBN yang berdenominasi rupiah terasa semakin lahap, yakni Rp 108 triliun atau sekitar 18,56 persen. Kini yang cukup menerbitkan kekhawatiran, hingga akhir Febuari 2010, SBN yang dimiliki asing mencapai 20,18 persen atau total bernilai Rp 119,72 triliun.
Karena itu, dapat dibayangkan dana asing yang saat ini jumlahnya semakin tambun tersebut, jika kelak tiba-tiba hengkang dan meninggalkan kita, tentu instabiltas perekonomian akan menjadi salah satu warisannya.
Persinggahan Potensial
Aliran dana asing diperkirakan masih akan membanjiri pasar finansial di Indonesia. Sebab, selain kondisi ekonomi dalam negeri yang cukup kondusif, saat ini praktis hanya Tiongkok, India, dan Indonesia yang menjadi lahan investasi yang masih menjanjikan.
Pilunya ekonomi Yunani turut menghadirkan kabut bagi kondisi Uni-Eropa (UE). Ekonomi Yunani yang saat ini dilanda oleh membengkaknya rasio utang serta defisit anggaran praktis menyita perhatian negara-negara UE.
Rasio utang terhadap PDB Yunani yang mencapai 124,9 persen serta rasio defisit anggaran yang ditoleransi oleh negara-negara UE hanya sekitar 3 persen terhadap PDB ditabrak oleh Yunani hingga 13,5 persen.
Celakanya lagi, beberapa anggota UE yang lain, yakni Portugal dan Spanyol, ditengarai mengidap persoalan yang sama dengan Yunani. Tentu kabut yang masih menyelimuti kondisi negara-negara Eropa itu bukanlah ladang subur bagi investasi saat ini. Praktis, negara-negara Asia, termasuk Indonesia, menjadi tempat persinggahan yang potensial bagi dana-dana investasi.
Selain pasar finasial kita, sektor keuangan lain juga mempunyai magnet bagi para investor asing. Setidaknya, itu terlihat pada hasrat pihak luar untuk turut bermain pada kancah perbankan. Tidak kurang dari 27 bank telah dimiliki asing (murni serta campuran) hingga akhir 2008. Memang, bila dilihat dari sisi kuantitas, telah terjadi penurunan jumlah bank asing kalau dibandingkan dengan 1997 yang mencapai 41 bank. Akan tetapi, bila melongok aset dana asing yang ditanamkan, tampaknya investor asing semakin royal.
Pada akhir semester I/2008, total aset bank asing masih Rp 295,86 triliun atau mencapai hampir 15 persen dari total dana perbankan umum di Indonesia. Tapi, sampai akhir tahun kemarin, aset bank asing mendekati 50 persen dari total dana perbankan nasional yang mencapai Rp 1.800 triliun.
Sebagai mata air pembiayaan pembangunan sampai saat ini, peran dana asing masih terus melahirkan perdebatan, terlebih dana panas yang diparkir pada pasar finasial. Tetapi, yang perlu menjadi catatan adalah aliran dana asing dapat menjadi citra kinerja pemerintah. Sebab, pemodal dari luar untuk mendaratkan dananya baik pada saham, obligasi, SBI, maupun SUN tentu telah melakukan berbagai pertimbangan, kalkulasi, serta simulasi.
Di sini tampak, mekanisme koordinasi sektor keuangan dan berbagai kebijakan lembaga keuangan telah mengukuhkan landasan bagi pendaratan modal asing.
Etape selanjutnya adalah membuat dana tersebut nyaman hingga tinggal cukup lama pada pasar keuangan kita. Yang lebih penting lagi memberikan manfaat.
Karena itu, perlu beberapa kebijakan yang dapat me-ninabobo-kan dana asing agar dapat dimanfaatkan. Hal ini memberikan harapan bahwa bursa di Indonesia dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan perekonomian.
Kemudian, kebijakan yang lain adalah memperkecil dampak negatif terbangnya dana asing. Karena itu, perlu diwaspadai gempita pada pasar finansial kita.
Secara normatif, memang sebaiknya seluruh atau sebagian besar kekuatan ekonomi kita dilakukan oleh pelaku pribumi dan tidak kita sandarkan pada asing. Namun, karena berbagai keterbatasan, antara lain keterbatasan di sektor finansial, kehadiran dana asing sulit untuk dibendung di Indonesia.
Langkah yang bisa dilakukan adalah membuat aturan main atau regulasi yang tujuannya memaksimalkan manfaat dana asing dan meminimalkan risikonya sekaligus mengupayakan pagar bagi perlindungan kepentingan rakyat.
Saat ini, di tengah kelangkaan investasi dan tingginya risiko kegagalan usaha karena trauma krisis global, dana asing yang menjadikan negara kita sebagai muara adalah sebuah berkah. Tetapi, tanpa aturan yang memadai untuk mengendalikan hal itu, pada gilirannya dana asing dapat menjadi bencana. (*)
*). Agus Suman, guru besar ilmu ekonomi Universitas Brawijaya
Sumber www.jawapos.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar