Pages - Menu

08 Januari 2010

Penebar Penyakit yang Dirindukan

Oleh Kustiah*

Masih ingat kasus ayat tembakau yang hilang dari Undang-Undang Kesehatan yang telah disahkan dalam sidang paripurna DPR September lalu? Sejumlah politikus di Senayan berapologi bahwa penyebab ayat yang hilang itu hanya kesalahan teknis. Beberapa politikus pengusul ayat tersebut berpandangan bahwa tindakan itu merupakan kesengajaan untuk menjegal pengendalian tembakau.

Sejumlah aktivis antikorupsi dan pengendalian tembakau menduga, ayat tersebut sengaja dihilangkan secara sistematis. Targetnya, produksi dan peredaran produk tembakau hasil produksi perusahaan-perusahaan rokok besar di Indonesia tidak dibatasi. Bahkan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menduga adanya indikasi korupsi dalam kasus itu. Bukankah negeri ini adalah surga bagi para industrialis rokok untuk mengeruk untung sebanyak mungkin?

Sampai kini belum jelas benar apa motif sesungguhnya penghilangan ayat tersebut. Meski dianggap tindak pidana, sampai kini nasib para penghilang ayat itu belum ditentukan. Kabar terakhir, polisi masih kesulitan menentukan pasal untuk menjerat pelakunya.

Barangkali ulasan John Crofton dan David Simpson lewat buku ini memberikan sedikit gambaran yang lebih terang. Kata keduanya, perusahaan tembakau secara rutin mendanai partai politik dan para politikus. Mereka sering mendukung semua partai politik guna memelihara posisi mereka terhadap partai apa pun yang menang waktu pemilihan umum (hlm 146).

Buku ini dengan lugas menguliti sisi mengerikan industri produk tembakau sebagai penebar maut yang di beberapa negara sudah dibatasi dengan ketat, tapi di negeri ini masih bebas beriklan, berpromosi, serta membiayai even olahraga dan musik. Bagi pejabat republik ini, tembakau bahkan disanjung sebagai "penolong" negara karena memberikan cukai sekitar Rp 40 triliun per tahun.

John Crofton dan David Simpson menunjukkan bahwa political will pemerintah sangat menentukan apakah akan berpihak kepada kesehatan rakyat atau memberikan angin surga kepada perusahaan rokok. Benar, industri rokok memberikan cukai kepada negara. Tapi, benar pula industri rokok membebani negara lebih berat karena sebagian besar perokok adalah rakyat miskin.

Mereka yang miskin kian miskin karena uang mereka lebih diutamakan untuk membeli rokok daripada mencukupi kebutuhan pokok keluarga, pendidikan anak-anak, dan kebutuhan strategis lainnya. Beban kaum miskin tambah berat saat menderita penyakit akibat asap rokok: biaya perawatan mahal, kehilangan kesempatan bekerja karena sakit, dan tidak menutup kemungkinan kesempatan usia produktif karena mati muda.

Tapi, rupanya pemerintah Indonesia sampai kini lebih senang menerima cukai dari industri rokok daripada melindungi kesehatan rakyatnya. Jika ditelusuri, yang membayar cukai bukanlah industri rokok, melainkan para konsumen rokok yang mayoritas warga miskin. Padahal, ribuan penelitian sejak 1950-an menunjukkan, rokok menjadi penyebab penyakit berbahaya: kanker, stroke, serangan jantung, kelainan janin, dan sejumlah penyakit mematikan lainnya.

Dalam buku ini, kedua penulis menunjukkan bahwa sebagian besar perokok di negara-negara berkembang adalah masyarakat miskin. Pendapatan mereka untuk meningkatkan gizi keluarga lebih kecil daripada belanja rokok. Oleh karena itu, perusahaan tembakau memberikan wajah ganda yang mengerikan. Yakni, di satu sisi membuat kaya raya segelintir pengusahanya, namun di sisi lain membuat miskin ratusan juta orang di seluruh dunia dan membenamkan sejumlah penyakit ke dalam tubuh ratusan juta perokok aktif maupun pasif.

Oleh karena itu, buku ini menguraikan cara ampuh untuk menurunkan jumlah perokok dalam jangka panjang. Aktor yang dia tunjuk pertama adalah pemerintah. Pemerintah yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) WHO harus segera meratifikasinya untuk menjadi landasan dalam pengendalian tembakau.

Kalaupun belum meratifikasi, pemerintah diharapkan bisa menyusun undang-undang yang mengendalikan dampak tembakau terhadap kesehatan. Di dalamnya harus ditegaskan pelarangan total terhadap iklan dan promosi rokok dalam semua media. Sebab, iklan -bagi perusahaan rokok- merupakan cara efektif untuk menarik para calon konsumen muda. Iklan pula yang membuat "nilai-nilai menyesatkan" yang menganggap merokok sebagai simbol sosial, keberanian, dan kedewasaan. Pelarangan tersebut sangat rasional. Sebab, bagaimana mungkin produk beracun yang jelas-jelas berbahaya bebas diiklankan di semua media massa? (*)

*) Kustiah, pekerja media, tinggal di Jakarta

---

Judul Buku : Tembakau: Ancaman Global

Penulis : John Crofton dan David Simpson

Penerjemah : Kartono Muhammad dkk

Penerbit : PT Elex Media Komputindo

Cetakan I : 2009
Sumber www.jawapos.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar