Pages - Menu

24 Desember 2009

Menggagas Perpustakaan Khusus Anak

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Kota Sragen merupakan kota layak anak. Hal ini dibuktikan dengan penghargaan yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Sragen pada tanggal 23 Juli 2009 lalu yang menetapkan Sragen sebagai kota layak anak. Penghargaan ini tentu cukup membanggakan dan menggembirakan karena Kota Sragen termasuk sepuluh kota di tanah air yang meraih predikat kota layak anak.

Sragen memang layak meraih predikat ini. Beberapa sarana dan prasarana seperti arena bermain di GOR Diponegoro, Alun-Alun Sasono Langen Putro, Taman Wisata dan Pendidikan nDayu Alam Asri merupakan bukti kepedulian Pemerintah Kabupaten Sragen terhadap dunia anak.

Kepedulian ini akan semakin lengkap jika Kota Sragen memiliki perpustakaan khusus anak. Perpustakaan khusus anak memiliki nilai strategis untuk mewujudkan dunia membaca yang layak untuk anak. Dunia membaca sekaligus dunia bermain yang nyaman dan aman untuk anak-anak Indonesia. Dunia yang mengatur anak dengan aturan untuk anak bukan aturan untuk orang dewasa.

Selama ini anak-anak Indonesia terpaksa dan dipaksa untuk menikmati perpustakaan yang diperuntukkan bagi orang dewasa. Mereka akan kesulitan mengambil buku di rak yang dirancang untuk orang dewasa. Di perpustakaan pun mereka terpaksa membaca buku yang sebagian besar berlabel dewasa bukan berlabel anak-anak.

Perpustakaan khusus anak merupakan langkah terobosan untuk membangun pondasi bangsa yang kuat. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki budaya membaca yang tinggi. Untuk itu sudah menjadi keharusan hadirnya perpustakaan khusus anak di kota layak anak. Hal ini merupakan tahap pengembangan dari adanya layanan khusus anak di perpustakaan.

Gedung baru yang dibangun Pemkab Sragen untuk Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen di Jl. Raya Sukowati No. 15 D, tepatnya di belakang bakal gedung Media Center dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan Perpustakaan Khusus Anak Kabupaten Sragen. Sementara itu, gedung lama Kantor Perpustakaan Daerah di Jl. Pemuda No. 1 Sragen dapat difungsikan sebagai layanan khusus dewasa.

Pembagian layanan perpustakaan ini penting untuk dilakukan. Sejatinya, anak-anak memerlukan jenis layanan, jenis buku, jenis ruangan, dan jenis perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa.

Mereka memerlukan perpustakaan yang khusus didesain, dirancang, dan dipersembahkan untuk anak penerus generasi bangsa. Perpustakaan yang memiliki arena bermain, internet anak, layanan mendongeng, dan pustakawan pengasuh anak.

Perpustakaan yang membebaskan anak-anak untuk melakukan ekspresi, impresi, kreasi, dan aktualisasi diri. Sebuah perpustakaan yang layak anak !

*Romi Febriyanto Saputro, S. IP adalah pengelola blog Kantor Perpusda Kab. Sragen. Pemenang Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008
Artikel ini telah dimuat Jawa Pos Radar Solo pada tanggal 24 Desember 2009

22 Desember 2009

Cinta dan Pencarian Diri

Karya-karya Dewi Lestari atau yang populer dengan nama pena Dee, memang banyak mengangkat tema cinta, mulai Supernova (tiga seri), Filosofi Kopi, hingga Rectoverso. Demikian pula novel terbarunya ini, Perahu Kertas, masih kental tema cinta. Bedanya, novel ini bergenre populer dan menggunakan tokoh remaja yang berproses hingga menemukan kematangannya.

Karena bergenre populer, pembaca setia karya-karya Dee ketika baru memulai membaca novel ini mungkin akan sedikit merasakan hal yang agak berbeda dibandingkan saat menikmati karya Dee sebelumnya yang cenderung ''serius". Bisa dikatakan bahwa novel ini secara gaya penyajian dan alur mirip dengan chicklit atau teenlit. Akan tetapi, lambat laun, pembaca akan merasakan ruh Dee dalam novel yang ditulis selama 55 hari kerja ini -tulisan yang reflektif, dan, dalam batas-batas tertentu, bagi yang cukup akrab dengan tulisan-tulisan Dee selain karya fiksinya yang dapat ditemukan di weblognya, cukup menggambarkan ''pandangan dunia'' Dee tentang hidup, cinta, dan takdir.

Hebatnya, Dee bisa membungkus ide-ide yang sangat filosofis dan serius macam itu melalui tokoh-tokoh remaja novel ini. Dengan dua tokoh utama bernama Kugy dan Keenan, tokoh-tokoh remaja lainnya dalam novel ini tampil dalam rentang empat tahun, dimulai saat Kugy dan Keenan memulai masa perkuliahannya di Bandung.

Kugy adalah seorang gadis mungil yang aneh, cuek, pengkhayal, berantakan, dan bercita-cita menjadi juru dongeng dan penulis cerita. Keenan adalah seorang remaja cerdas, artistik, dan bermimpi menjadi pelukis. Keduanya dipertemukan secara kebetulan oleh Eko dan Noni, saat Eko menjemput Keenan, sepupunya, di Stasiun Bandung. Noni, pacar Eko, adalah sahabat karib Kugy sejak kecil.

Perkenalan Kugy dan Keenan di awal masa kuliah mereka ternyata pelan-pelan melahirkan perasaan saling mengagumi dan saling menyukai. Namun, situasinya menjadi rumit dengan fakta bahwa Kugy masih menjalin hubungan dengan Ojos, dan di sisi yang lain, Noni dan Eko tengah berupaya mencomblangkan Keenan dengan seorang famili Noni bernama Wanda. Dari titik inilah, ketegangan kisah cinta Kugy dan Keenan yang sebenarnya dimulai.

Lebih dari sekadar kisah cinta biasa, kisah Kugy dan Keenan juga menyimpan kisah pergulatan panjang pencarian diri yang otentik. Gagasan ini, jika disederhanakan dan diungkapkan dengan bahasa populer kalangan remaja, akan serupa dengan upaya untuk ''menjadi diri sendiri''. Tentang bagaimana Kugy dan Keenan merawat impian-impian, kata hati, pilihan hidup, dan cita-cita mereka, berhadapan dengan kompleks realitas hidup di lingkungannya masing-masing yang tak sederhana, dilematis, dan kadang tampak pahit.

Keenan, misalnya, digambarkan terpaksa kuliah di jurusan manajemen, sementara sejatinya dia ingin menyerahkan hidupnya di dunia kesenian. Ia harus mengikuti kehendak orang tuanya, sampai akhirnya di satu titik perjalanan kisah ini Keenan mengambil sebuah keputusan yang sangat berani: berhenti kuliah, berkomitmen mandiri secara ekonomi, dan total hidup dengan melukis.

Keteguhan Keenan dengan keputusannya ini tak bisa dilepaskan dari cerita-cerita inspiratif yang ditulis Kugy, terutama saat Kugy tengah tertekan dan kalut akibat proyek percomblangan Noni dan Eko, dan menuliskan pengalamannya dengan anak-anak miskin di pinggiran Bandung dalam kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit.

Titik penting novel ini terjadi saat Keenan memutuskan untuk menghilang dan tinggal di Ubud bersama Pak Wayan, sahabat lama ibunya, dan memulai merajut mimpinya menjadi pelukis. Di titik itu pula, pembaca akan merasakan bahwa jalinan perasaan Kugy dan Keenan terancam putus. Apalagi saat jalinan cerita ini menuturkan bahwa di Ubud Keenan terpikat dengan Luhde Laksmi, keponakan Pak Wayan. Sementara Kugy, yang baru lulus kuliah dan kemudian bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta, menjalin hubungan dengan bosnya di kantor.

Di bagian seperempat terakhir novel, pembaca akan menemukan bagian-bagian yang sangat menentukan bagi penyelesaian konflik dan keseluruhan alur kisah novel yang sebenarnya sudah lebih dulu dilansir dalam versi digital (WAP) pada April 2008. Di bagian ini, pembaca akan menemukan ''Dee yang sebenarnya'', yang menghadirkan renungan-renungan hidup yang mendalam dengan juru bicara tokoh-tokoh novel yang usianya kebanyakan masih belia. Memang, pembaca tidak akan terlalu dibebani dengan metafor-metafor berat dan refleksi filosofis yang cukup serius, seperti dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Namun, hal ini tidak mengurangi kualitas dan kedalaman refleksi Dee.

Salah satu kelebihan novel ini adalah efek adiktif yang dimilikinya. Dee sendiri menjelaskan bahwa novel ini memang mencoba mengambil semangat komik dan cerita bersambung, yang pada dasarnya berupaya menjaga rasa penasaran pembaca. Membaca Perahu Kertas, pembaca seperti akan dilayarkan ke suatu kisah yang cukup menguras emosi dan cukup bernuansa eksistensial.

Di tengah melimpahnya genre novel-novel populer remaja bertema cinta di pasar perbukuan, novel ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan baru untuk berbagi kisah yang memikat dan inspiratif yang sarat nilai-nilai renungan mendalam, jauh dari dangkal. Tak hanya soal cinta, tapi juga renungan soal relasi etis antarmanusia. (*)

M. Mushthafa, Mahasiswa program Master of Applied Ethics, Utrecht University, Belanda

---

Judul Buku : Perahu Kertas

Penulis : Dee

Penerbit : Bentang Pustaka, Jogjakarta

Cetakan : Pertama, Agustus 2009

Tebal : xii + 444 halaman

Sumber www.jawapos.co.id

17 Desember 2009

Harry Potter & Budaya Baca Kita

Oleh: Taufiq Ismail

Sastrawan dan Budayawan

Melalui seorang kawan yang membaca berita di internet, saya diberitahu tentang suatu peristiwa ''Gila-gilaan Harry Potter'' atau ''Harry Potter Mania'' di Amerika Serikat. Harry Potter adalah sebuah serial karangan JK Rowling, wanita penulis yang jadi kaya-raya berkat serialnya itu.

''Gila-gilaan'' atau ''mania'' itu menunjukkan antusiasme pembaca yang luar biasa pada karya itu. Pada suatu Sabtu malam (8 Juli 2000) puluhan ribu anak-anak, remaja dan orang tua antri di toko-toko buku di seluruh negara bagian AS untuk membeli serial ke-4, terbaru, buku karya Rowling, Harry Potter and the Goblet of Fire (HPGF). Tiga buku Rowling sebelumnya adalah Harry Potter and the Sorcerer's Stone, Harry Potter and the Chamber of Secrets, dan Harry Potter and the Prisoner of Azbakan.

Tiga judul buku tersebut, menurut berita tadi, telah terjual lebih dari 2 juta kopi di AS saja. Rowling tentu saja jadi bahan pembicaraan publik. Diskusi tentang dia dan karyanya ramai dihadiri pembacanya. Situs-situs Potter dibangun oleh fanatikus Potter. Belum lama ini Rowling menerima International Public Relations Association (IPRA) President's Award, sehingga dia kini sejajar dengan tokoh Burma Aung San Suu Kyi, Uskup Desmond Tutu dll penerima anugerah presiden IPRA itu.

Buku terbaru Rowling itu, menurut berita tadi, di toko-toko buku New York di tengah malam 8 Juli tersebut, dalam waktu satu jam berhasil terjual 114.000 buku. Beberapa waktu sebelum HPGF diedarkan, toko buku Barnes and Noble dan toko online-nya telah mencatat 360.000 pesanan. Paling kurang 9.000 truk Federal Express dikerahkan ke seluruh penjuru negeri melalui jaringan ritel raksasa Amazon.com untuk membantu menyebarkan 250.000 kopi HPGF yang dipesan peminat. Buku ini dikabarkan dicetak 3,8 juta kopi pada tahap pertama dan di tahap kedua (bulan itu juga) dicetak 2 juta lagi.

Sebagai pembaca buku, terutama buku-buku Islam, saya cemburu berat terhadap fenomena di atas. Bila dibandingkan dengan dunia perbukuan kita, khususnya buku-buku Islam, perbandingan itu bagaikan awan dan dasar sumur. Di Indonesia, ada buku Islam yang termasuk paling laris berjudul Berjumpa Allah Melalui Shalat terjemahan karya Mutawali Sya'rawi terbitan Gema Insani Press, Jakarta, yang terjual 120.000 kopi dalam waktu 10 tahun. Sebagai perbandingan, buku Rowling HPGF perlu waktu satu jam untuk mencapai angka penjualan sekitar itu.

Tapi, lama-lama saya menghentikan kecemburuan saya. Banyak faktor yang yang menyebabkan buku kurang atau tidak dibeli orang Indonesia. Anak muda Indonesia terpelajar yang masih mahasiswa dan rokok kreteknya mengepul-ngepul dan kaset musik hard rocknya berdentam-dentam, selalu mengeluh mengatakan buku mahal. Orang Indonesia terpelajar yang sudah bekerja dan punya sumber nafkah yang layak, lebih suka mengoleksi VCD, parfum dan aksesori mobil ketimbang mengoleksi buku. Minat baca masyarakat yang rendah ini tidak berdiri sendiri, tapi berjalin-berkelindan dengan masalah sosial lain yang berbagai-bagai.

Akar masalah yang paling dalam adalah sangat kurang ditanamkannya budaya baca buku di sekolah-sekolah kita, sejak SD, SLTP, sampai SLTA. Di sejumlah negara --kecuali Indonesia-- berlaku ketentuan wajib baca buku sastra bagi siswa sekolah menengah. Buku-buku itu tersedia di perpustakaan sekolah, siswa selain harus membaca, juga wajib menulis mengenainya. Hasil dari proses membaca itu kemudian diuji di kelas (lihat tabel).

Sebagai pembaca, saya tidak tahu banyak tentang buku apa, atau dari jenis mana, yang paling bagus sekarang ini. Tapi, kalau saya perhatikan rubrik resensi buku di surat-surat kabar dan majalah, saya merasa senang karena buku-buku Islam termasuk yang paling banyak diulas. Sayangnya, sejauh pengamatan saya, ulasan buku di media massa sekarang ini umumnya bersifat deskriptif saja, mengutip di sana-sini bagian buku yang dianggap penting kemudian ditutup dengan pujian bahwa buku ini layak dibaca. Begitu saja.

Sebaiknya media massa menyediakan ruangannya untuk memperkenalkan buku tidak sekedar informasi saja, melainkan juga ulasan yang agak mendalam, sehingga kita jadi lebih yakin untuk membelinya. Ada kawan-kawan yang terdorong membeli buku yang sesudah dibaca, ternyata kurang bermutu, bahasanya tidak disunting rapi-rapi, padahal dalam ulasan di media dikabarkan bagus. Pada saat ini cukup banyak media massa Islam, seperti Republika, Pelita, Panji Masyarakat, Suara Hidayatullah, Media Da'wah, Sabili dan lain-lain, tapi rasanya agak sulit untuk mendapatkan ulasan yang lengkap mengenai buku-buku Islam.

Selain itu, kehadiran resensi buku tidak selalu cepat, seringkali terlambat. Ada buku yang terbit di bulan Juni tahun lalu, misalnya, baru muncul resensinya Februari tahun ini. Berarti ada kekosongan waktu 8 bulan untuk mengetahui sebuah buku baru dari ulasan di media massa. Artinya, bagi mereka yang kurang rajin berkunjung ke toko buku, tidak akan tahu ada buku-buku baru.

Dugaan saya naskah resensi itu antre di meja redaksi sehingga harus menunggu waktu berbulan-bulan, karena memang harian biasanya hanya menyediakan ruang resensi pada edisi hari Ahad. Kalau demikian adanya, kebijakan media massa untuk hanya menyediakan rubrik resensi pada edisi Minggu, menurut hemat saya, perlu ditambah. Kompas kadang-kadang memuat resensi buku pada hari Senin atau Jumat, selain edisi Minggu, dan kebijakan ini patut dipuji.

Saya kira bukan ide jelek apabila ada media massa membuat semacam daftar buku-buku terbit terbaru, daftar buku-buku laris, lalu wartawannya mengulas secara komprehensif atas buku-buku itu. Kalau pun tidak diulas, tidak apalah, asal daftar buku baru terbit itu dimuat. Panduan semacam ini bagi peminat buku, perlu.

Di sisi lain, saya lihat cuma penerbit-penerbit besar saja yang mampu membayar ruang iklan penerbitan barunya. Kebanyakan penerbit tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi begini para penerbit hanya mengandalkan para peresensi. Tentu, baik sekali pihak penerbit memberikan pula penghargaan yang pantas untuk penulis resensi ini, di samping penulis resensi sudah menerima honorarium dari media massa.

Saya juga memperhatikan penerbitan buku Islam dewasa ini sedang digandrungi. Display buku-buku Islam di toko-toko baru besar menempati posisi yang cukup menonjol. Penerbitan buku Islam saat ini bukan hanya monopoli penerbit Islam, tapi juga penerbit umum, seperti Gramedia, dll. Beberapa pengarang Islam tidak enggan bukunya diterbitkan penerbit bukan Islam.

Misalnya, kumpulan karangan Syu'bah Asa berjudul Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik diterbitkan Gramedia (2000), dan buku AM Fatwa Kebebasan Beragama Diadili juga diterbitkan penerbit serupa (2000). Apakah pemahaman terhadap Islam dan informasi keislaman di Indonesia saat ini tengah mengalami pergeseran? Ini tentu memerlukan riset lebih dalam. Yang kita rasakan saat ini adalah baru tahap permulaan, di mana minat terhadap buku Islam -- membaca dan menerbitkannya -- mulai terlihat menanjak.

Di bulan Ramadhan ada juga stasiun televisi yang mau mengulas buku Islam. Stasiun Indosiar misalnya di bulan puasa pernah menayangkan acara bedah buku karangan Prof Dr Dawam Rahardjo berjudul Ensiklopedi Al-Quran terbitan Pramadina. Tapi saya tidak yakin acara itu ditonton orang karena ditayangkan jam 2 pagi, meskipun bulan puasa. Sebenarnya acara semacam itu sangat bagus untuk diteruskan, tapi memang apa yang dapat diharapkan dari dunia televisi kita yang eksistensinya ditentukan oleh ekonomi kapitalistik yang menghitung laba-rugi secara sangat lugas.

Acara pembicaraan buku, apapun jenisnya, termasuk buku Islam dan sastra, praktis tidak ada di medium yang luarbiasa ampuhnya itu. Di tahun 1950-an dan 1960-an, program Mutu Ilmu dan Seni RRI Ibukota, yang diselenggarakan Wiratmo Soekito, Anas Ma'ruf, Tuti Aditama dan Husseyn Umar, membahas pula buku-buku baru terbit dengan sangat terpelajar. Ini yang tidak kita lihat lagi di media elektronik ini.

Makalah disajikan untuk Yayasan Pustaka Umat pada Silaturahmi Nasional Penerbit dan Penulis Muslim [14/2]

Jumlah buku sastra yang wajib dibaca siswa SMU di sejumlah negara

1. SMU Singapura 6 judul

2. SMU Malaysia 6 judul

3. SMU Thailand Selatan 5 judul

4. SMU Brunei Darussalam 7 judul

5. SMU Jepang 15 judul

6. SMU Kanada 13 judul

7. SMU Amerika Serikat 32 judul

8. SMU Jerman 22 judul

9. SMU International, Swiss 15 judul

10. SMU Rusia 12 judul

11. SMU Prancis 20-30 judul

12. SMU Belanda 30 judul

13. AMS Hindia Belanda 25 judul

14. SMU Indonesia 0 judul

Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMU responden (bukan nasional), dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi, sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra yang dibaca cuma ringkasannya, dan siswa tak menulis mengenainya, dan tidak diujikan, dianggap nol.

* Taufiq Ismail, Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis? 1998).

15 Desember 2009

Dari Pinggiran ke Pemain Utama

BELUM lama ini, Tiongkok sukses merayakan ulang tahun ke-60 kemerdekaannya. Tahun lalu negeri itu juga menjadi tuan rumah Olimpiade yang luar biasa megahnya. Kesuksesan dan kemegahan kedua perayaan penting tersebut menyita perhatian dunia. Tak sedikit yang memprediksi masa depan negeri berpenduduk satu miliar itu akan menjadi salah satu kekuatan global.

Chairman/CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan mencatat, dinamika ekonomi-politik Tiongkok berkembang cepat sejak awal berdirinya pada 1949. Kini, situasi investasi dan keamanan dalam negeri terus membaik. Dalam dua dekade terakhir, kondisi ekonominya sangat berbeda dengan Tiongkok yang dikenal pada era 60-an atau 70-an.

Berawal dari revolusi kebudayaan, reformasi ekonomi, dan era keterbukaaan terhadap dunia luar pada 1978, Tiongkok di bawah kepemimpinan Deng-Xiaoping dan dilanjutkan Jiang Zemin hingga era Hu Jintao saat ini, kekuatannya terus diperhitungkan dan bisa ''mengancam'' dominasi Amerika di masa mendatang.

Saat ini kekuatan ekonomi Tiongkok berpengaruh signifikan pada konstelasi politik global. Kaplinsky (2006) menilai, Tiongkok bukan sekadar emerging economies, melainkan Asian drivers of global change. Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa Tiongkok telah berubah dari pemain ekonomi pinggiran menjadi pemain utama pasar global. Ekspornya ke AS pada kurun 1985-2004 melejit dari ''nol'' menjadi sekitar 15 persen dan kini terus meningkat.

Hingga hari ini Tiongkok menjadi salah satu negara donor terbesar untuk kawasan Asia Tenggara, sekaligus partisipasinya dalam penanganan bencana alam, gempa bumi, dan tsunami di kawasan ini, termasuk Indonesia. Yang terbaru adalah bantuannya yang besar dalam penyelesaian pembangunan megaproyek Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura).

Bila dicermati, kemajuan Tiongkok tidaklah dimulai dari nol, tapi bertahap. Pada 2005, Pusat Penelitian Modernisasi Tiongkok menerbitkan peta jalan modernisasi Tiongkok untuk abad ke-21. Isinya: pada 2025 produk domestik bruto (GDP) Tiongkok menyamai Jepang. Lalu pada 2050, Tiongkok harus menjadi negara maju di dunia. Atas dasar peta jalan itu, Tiongkok terus bergerak menuju masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.

Sejak ribuan tahun sebelum Masehi, Tiongkok memang sudah membangun banyak sistem kehidupan manusia dan melahirkan prinsip-prinsip pemikiran ketimuran yang tetap lestari sampai saat ini. Tiongkok juga memiliki mekanisme hubungan antarnegara yang cukup baik. Kekaisaran Tiongkok bahkan sempat menjalin hubungan diplomasi, perdagangan, dan kenegaraan dengan berbagai kawasan di dunia, termasuk Indonesia.

Kehadiran Laksamana Cheng Hoo di Indonesia adalah salah satu bukti nyata. Sejarah juga mencatat, lebih dari 5.000 tahun Tiongkok mengukuhkan diri sebagai salah satu bangsa yang beradab. Penemuan teknik pertanian, huruf hanzi (kanji), pembuatan kompas, mesiu, dan alat-alat percetakan, juga dilakukan penduduk Tiongkok.

Pada 1949-1978 Tiongkok melakukan pembangunan fisik dan nonfisik yang mengagumkan. Di antaranya pembangunan kualitas pendidikan. Wajib belajar diterapkan sejak 1950-an. Maka, tingkat buta huruf di Tiongkok pada masa Mao Zedong sangat rendah dan terus menyusut.

Gayung bersambut, perhatian akan kualitas pendidikan dan teknologi tersebut juga dilanjutkan Deng Xiaoping. Dia menyatakan, ''Bila Tiongkok ingin memodernisasi pertanian, industri, dan pertahanan, yang harus dimodernisasi lebih dulu adalah sains dan teknologi, serta menjadikannya kekuatan produktif.''

Tak salah bila dikatakan, kunci kesuksesan dan kemajuan Tiongkok bermula dari pendidikan dan teknologi. Nah, soal kekurangan sumber daya alam, Tiongkok bisa menutupinya dengan mengimpor dari negara lain.

Meski begitu, reformasi dan modernisasi Tiongkok bukan pula tanpa hambatan. Dalam kenyataannya, Tiongkok juga memiliki masalah internal-eksternal atau lokal-internasional yang cukup pelik.

Sebagaimana diungkap Phillips dan Moore, editor buku China; Economic, Political and Social Issue, Tiongkok juga menghadapi banyak masalah sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat lokal maupun internasional (hlm 239-271).

Di tingkat lokal, misalnya, baru-baru ini berita kasus Tibet dan konflik rasial di Xinjiang santer terdengar. Yakni, konflik rasial antara etnis Uighur yang mayoritas muslim namun menjadi minoritas di Xinjiang, dan etnis Han yang menjadi etnis mayoritas di Provinsi Xinjiang (daerah otonomi).

Konflik ini bukan kali pertama. Pada Agustus tahun lalu, Xinjiang juga bergejolak. Namun, konflik yang terjadi terakhir lebih besar dan memakan banyak korban meninggal dan ribuan orang ditahan karena diduga ikut dalam aksi rusuh itu.

Kebencian antara ras Uighur yang minoritas dan Han yang mayoritas juga punya sejarah tersendiri. Kebencian itu pernah memuncak dengan keinginan Uighur memisahkan diri. Namun, hal itu bisa diatasi oleh Mao Zedong pada 1949. Meski begitu, akar kebencian kedua suku itu tetap abadi hingga kini.

Pasang surut dan ketegangan internasional juga pernah terjadi. Antara lain hubungan Tiongkok-Asia Tenggara, khususnya dengan Indonesia. Pada 1960, hubungan Indonesia dan Tiongkok sempat terganggu akibat campur tangan pihak asing. Dampak konflik itu cukup terasa. Terutama bagi warga Tionghoa di Indonesia.

Namun, adanya tekanan dari dalam dan dunia luar, membuat Tiongkok terus berbenah diri. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan, dan perdamaian lebih dapat dihormati dan ditegakkan. (*)

Judul Buku: China; Economic, Political and Social Issues

Editor: J. M. Phillips dan L. J. Moore

Penerbit: Nova Science Publishers, New York

Cetakan: Pertama, 2009

Tebal: xii+321 Halaman

*) Choirul Mahfud , dosen dan peneliti LPPM UM Surabaya
Sumber www.jawaos.co.id

14 Desember 2009

08 Desember 2009

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen Terbaik Ke- 2 Se-Jawa Tengah






Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen ditetapkan sebagai Juara II Lomba Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Tingkat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor : 041/67/2009 Tanggal 4 Desember 2009.

Juara pertama di raih oleh Kantor Perpustakaan Kabupaten Batang. Juara III adalah Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Kota Magelang. Keluar sebagai Juara Harapan I sampai III berturut-turut adalah Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota Semarang, Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Cilacap, dan Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Magelang.

Pengumuman sekaligus penyerahan penghargaan dilakukan pada tanggal 7 Desember 2009 di Aula Gedung Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah Jl. Sriwijaya No 29 A Semarang. Penyerahan hadiah ini dilakukan bersamaan dengan Rapat Koordinasi Pengembangan Jaringan Kemitraan Bidang Perpustakaan.

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen yang diwakili oleh Romi Febriyanto Saputro, S. IP menerima piala kejuaraan, piagam penghargaan, dan uang pembinaan.

Menurut Romi, predikat sebagai Juara II merupakan buah kerjasama yang cukup baik antara Pemerintah Kabupaten Sragen, segenap karyawan/karyawati Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen, dan doa seluruh masyarakat Sragen yang senantiasa mencintai perpustakaan.

“Aneka macam kegiatan promosi perpustakaan dan minat baca yang digelar oleh Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan faktor penentu yang sangat dipertimbangkan oleh Dewan Juri,” lanjut Romi.

Pemenang Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008 ini menuturkan bahwa sepanjang Tahun 2009 ini Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen telah menggelar Pameran Buku sebanyak dua kali, Workshop Otomasi Perpustakaan, Bimbingan Teknis Perpustakaan sebanyak lima angkatan, Lomba Pidato Bahasa Jawa, Lomba Mendongeng Cerita Lokal, Lomba Menulis Cerita Film, dan Lomba Perpustakaan Sekolah.

Kita semua tentu berharap untuk Tahun 2010, Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen dapat meningkatkan prestasi menjadi Perpustakaan Terbaik di Jawa Tengah. Semoga !

05 Desember 2009

“ KYAI AGENG SRAGEN”

Pada zaman dahulu kala Kerajaan Mataram di Kartasura mengalami kegemparan. Raden Mas Garedi, putra Pangeran Tepasana menentang kebijaksanaan para narapraja Mataram yang dekat dengan para Kompeni Belanda. Dalam usahanya itu Raden Mas Garendi mendapatkan dukungan dari orang – orang Cina yang ada di Kartasura serta beberapa orang Pangeran dan Abdi Dalem Narapraja Mataram.
“Hai, Tumenggung Alap-alap apa yang telah terjadi pada para narapraja di Kartasura ?” sabda Kanjeng Sunan mengawali pembincaraan.
“Ampun Gusti, hamba mendengar kabar, bahwa ananda Raden Mas Garendi melakukan pemberontakan menentang Tuan Kompeni.
“ Wee hehe..Bila demikian keadaannya, yang repot saya. Hai Alap-alap. Mana yang harus saya dukung? Bila memihak Kompeni, kasihan si Garendi. Tetapi bila saya memihak si Garendi, berarti saya harus menentang Kompeni. Alap-alap, apa yang harus saya lakukan?”
“Ampun Gusti, ananda Garendi menetang Tuan Kompeni, itu merupakan usaha untuk menegakkan Kerajaan Mataram.”, sembah Tumenggung Alap-alap.
“Oooo ……Alap-alap, sadarlah keadaanmu, keadaan kita sekarang ini! Mampukah kita melawan kekuatan kompeni?” Kompeni memiliki senapan dan meriam. Sedangkan kita … orang jawa, hanya memiliki senjata tombak, keris, pedang, dan sejenisnya. Saya tidak berani menentang kompeni. “
Mendengar sabda Kangjeng Sunan itu yang tidak teguh maka diputuskanlah dia beserta keluarganya pergi dari Kartasura menuju di desa Kranggan, daerah Sukawati. Di sana Alap-alap mangangkat diri sebagai seorang Pendeta dengan nama Kyai Srenggi untuk melakukan penyamaran.
Akhirnya pada tahun 1742 Kraton Kartasura jebol dan diduduki oleh Raden Mas Garendi yang mendapat gelar Sunan Kuning. Keadaan tersebut membuat para Kompeni berfikir untuk menyingkirkan Raden Mas Garendi dengan berbagai cara.
Akhirnya kompeni dengan bantuan orang batawi melakukan pertempuran. Mayat bergelimpangan dan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi dapat dikalahkan dan diusir dari kartasura. Setelah itu dipanggillah Sunan Paku Buwana II yang berada di ponorogo menduduki tahtanya kembali. Sunan menyaksikan keadaan Kartasura yang porak poranda Maka diputuskan untuk membangun kraton yang baru yang berada di desa Sala, yang diberi nama Surakarta Hadiningrat.
Pada waktu itu Pangeran Mangkubumi lolos dari Surakarta, pergi ke arah Timur Laut kota Surakarta yaitu desa Kranggan dan bertemu dengan Kyai Srenggi untuk mohon petunjuk. Akhirnya Kyai Srenggi menceritakan kepada Pangeran Mangkubumi tentang jati dirinya.
“Benarkah Kyai Srenggi itu sebenarnya Tumenggung Alap-alap? Oh, Gusti!!!”, Pangeran Mangkubumi menjabat tangannya dengan perasaan terkejut.
Di sana Pangeran Mangkubumi diberi hidangan berupa nasi pecel diletakkan dengan lauk seadanya. Walupun sederhana, tetapi membuat hati Pangeran Mangkubumi lega. Setelah selesai bersantap, berkatalah Pangeran Mangkubumi,” Paman Alap-alap, terima kasih banyak atas semuanya mulai hari ini paman Alap-alap atau Kyai Srenggi saya angkat menjadi senapati perang memimpin kompeni. Paman Alap-alap bergantilah nama menjadi Kyai Sragen, sedang desa Kranggan ini saya ganti namanya menjadi desa Sragen!”
Begitulah selanjutnya Kyai Ageng Sragen dianggap sebagai cikal bakal desa Sragen dan menjadi leluhur para penguasa pemegang pemerintahan di Kabupaten Sragen – Sokawati.
AMANAT : Bila kita dipilih menjadi seorang pemimpim kita harus menghilangkan sikap tidak teguh, pendirian lemah, mudah terbujuk oleh bujuk rayu. Sikap demikian akan membahayakan bawahan dan organisasi yang kita pimpin.

Anak-Anak Kita Ternyata Bisa Menulis…..!

Oleh Romi Febriyanto Saputro*


Pada tanggal 10 sampai dengan 12 November 2009, Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen menyelenggarakan Lomba Menulis Cerita Film untuk tingkat SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA/SMK se-Kabupaten Sragen.

Lomba ini diikuti oleh 158 peserta dari Sekolah Dasar, 91 peserta dari SMP, dan 87 peserta dari SMA/SMK/MA. “Cukup meriah bukan ? “

Untuk tingkat Sekolah Dasar, film yang diputar adalah “Doa Untuk Ibu”. Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama, film yang ditayangkan adalah “Kungfu Panda”. Sedangkan film “Spirit : The Stallion of The Cimmaron” dikonsumsi oleh para peserta dari Sekolah Menengah Atas.

Ketiga film yang ditayangkan adalah film-film animasi yang inspiratif, menggugah motivasi, dan mampu menyentuh hati nurani terdalam. “Doa Untuk Ibu” mengajarkan kepada anak-anak kita tentang ketabahan hati Ratih ketika ditinggalkan oleh kedua orang tuanya untuk selama-lamanya.

Film ini menggambarkan ketabahan hati Ratih melalui proses metamorfosis kupu-kupu. Kehidupan kupu-kupu berawal dari seekor ulat. Ulat sejak lahir sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Tetapi, ulat mampu hidup mandiri penuh semangat sehingga setelah itu mampu mengubah diri menjadi kepompong. Ketika fase menjadi kepompong selesai, lahirlah seekor kupu-kupu yang indah dan sedap dipandang mata.

“Kungfu Panda” merupakan sebuah film yang sangat inspiratif. ”Tak segalanya seperti tampaknya” merupakan pesan khusus film ini kepada para penonton. Panda yang merupakan binatang gendut, lamban, tak punya taring, dan tak memiliki “senjata” untuk mempertahankan diri. Namun, panda memiliki tekad dan semangat yang tinggi untuk menjadi “Dragon Warrior” atau “Prajurit Naga”.
Kecintaan pada kungfu, rasa percaya diri yang kuat, dan ketekunan berbuah hasil yang menggembirakan. Panda yang semula diremehkan dan nyaris kehilangan rasa percaya diri akhirnya bisa mengalahkan Tai Lung si Macan superhero.

Film ketiga adalah “Spirit : The Stallion of The Cimmaron”. Film ini mengisahkan petualangan seekor mustang yang pantang menyerah untuk selalu merengkuh kemerdekaannya. Semangat patriotisme ini sangat tampak ketika sang mustang melakukan sabotase terhadap rencana pembuatan rel kereta api yang akan menerjang tanah airnya.

Sebagaimana Kungfu Panda, film ini juga mengajarkan kepada kita untuk selalu membuat langkah terobosan ketika dalam situasi terjepit. Adegan kejar-kejaran di Grand Canyon, lembah terpanjang di dunia yang berujung dengan “terbangnya” sang mustang menyeberangi jurang yang sangat lebar merupakan refleksi dari semangat pantang menyerah ini.

Setelah antusias menonton film, anak-anak kita ternyata juga sangat antusias dalam menuliskan cerita film yang ditontonnya di kertas yang disediakan panitia. Dalam waktu hanya satu setengah jam telah lahir anak-anak yang memiliki semangat tinggi dalam menuliskan ide, kreativitas, dan imajinasinya.

Menulis tak lagi sesulit yang dibayangkan. Dalam tempo dua jam anak-anak berhasil membuat tulisan sepanjang dua hingga empat halaman folio. Rata-rata isi tulisan cukup bagus. Sayangnya, kami hanya bisa mengambil tiga tulisan terbaik untuk dinobatkan sebagai pemenang. Semua tulisan adalah bagus karena mencerminkan keberanian untuk menuangkan ide, gagasan, dan kreativitas. Semua anak adalah pemenang karena berhasil memenangkan rasa percaya diri untuk mulai berani menulis.

Sekali lagi, ternyata anak-anak kita pandai menulis. Hanya saja potensi ini terkadang belum mendapat ruang yang memadai, bahkan di sekolah tempat mereka belajar. Tuntutan akademik membuat potensi menulis ini kurang berkembang. Dengan lomba ini harapan kami potensi menulis anak-anak kita bisa meledak.

Bagi semua peserta Lomba Menulis Cerita Film kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya dalam lomba ini. Selamat menulis dalam kehidupan Anda selanjutnya ! Kami tunggu tulisan-tulisanmu di perpustakaansragen@gmail.com. Kami akan memuat tulisan Anda di blog tercinta ini !

Bersama perpustakaan, mari kita terus membaca dan menulis !

*Romi Febriyanto Saputro, S. IP, pengelola blog Kantor Perpusda Kab. Sragen

03 Desember 2009

PEMENANG LOMBA MENDONGENG CERITA LOKAL TINGKAT KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2009

I. TINGKAT SD/MI
1. Juara I : Natalie Margaretha
SD N Gondang 1
2. Juara II : Gita Dwi Utami
SDN Ngargotirto 1 Sumberlawang
3. Juara III : Kirana Amurwa Kusuma
SDIT Birrul Walidain Muhammadiyah Sragen
II. TINGKAT SMP/MTS
1. Juara I : Dhea Vivi Ayu Dian P
SMP N 1 Gemolong
2. Juara II : Ari Nur Cahyani
SMP N 1 Sambungmacan
3. Juara III : Heni Tri Nulatsih
SMP N 1 Gesi
III. Tingkat SMA/MA/SMK
1. Juara I : Andi Susilo
SMK N 2 Sragen
2. Juara II : Dani Candra P
SMA N 1 Tangen
3. Juara III : Himma Zuhria
SMA N 1 Gondang

01 Desember 2009

PEMENANG LOMBA MENULIS CERITA FILM TAHUN 2009

I. TINGKAT SD/MI
1. Juara I : Muhammad Ulinuha Karim
SD N Majenang 3 Sukodono
2. Juara II : Azkiya Shabrina Basyarudin
SDIT Az-Zahra Sragen
3. Juara III : Usamah Nur Kholish
SDIT Birrul Walidain Muhammadiyah Sragen
II. TINGKAT SMP/MTS
1. Juara I : Siti Maryam
SMP Muhammadiyah 1 Sragen
2. Juara II : Anas Imam Wijaya
SBBS Sragen
3. Juara III : Muthi ’ah
SMP N 1 Karangmalang
III. Tingkat SMA/MA/SMK
1. Juara I : Umul Khoiriyah
MAN 3 Sragen
2. Juara II : Uqik Nur Hidayat
SMK N 2 Sragen
3. Juara III : Andika Cindy N
SMA N 3 Sragen

27 November 2009

Dia Hanya Seorang Pengarang

Oleh ahan syahrul*

''Mengarang, pada awalnya. Dan, pada akhirnya.'' Hanya kalimat itulah yang terucap dari Hamka ketika dipuja tentang kebesarannya. Dia mengatakan hanya seorang biasa saja, seorang pengarang tepatnya. Padahal, kita tahu bahwa Hamka adalah pejuang kemerdekaan, penulis, ulama, agamawan, wartawan Pedoman Masyarakat, serta pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Dia juga tercatat sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Bahkan, Hamka pernah menjabat rektor Universitas Moestopo Jakarta dan Universitas Islam Jakarta. Seorang besar, tetapi dalam hidupnya tidak pernah merasakan tamat dari SD, apalagi diwisuda layaknya sarjana. Seorang yang kebingungan mencari pekerjaan sesaat setelah prosesi seremonial penerimaan ijazah diterima. Gugup menghadapi zaman, bingung mempertautkan nasib, tak tahu arah apa yang harus dilakukan setelah lulus. Hal yang tidak pernah ada dalam kamus hidupnya, meskipun dia berpendidikan rendah.

Mosaik manusia tercerahkan itu wajib kita tiru jejak langkahnya. Berpendidikan formal hanya sampai kelas dua SD. Tetapi, selama hidupnya dia mampu menulis 113 buku. Menafsirkan Alquran dalam penjara saat dituduh kontra terhadap pemerintahan Soekarno. Buku karya Hamka yang terkenal itu berjudul Tafsir Al Azhar. Buku itu diakui sebagai karya terbaiknya. Tercipta saat kesunyiaan di balik terali besi, diselesaikan dalam keterbatasan.

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mencuatkan namanya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri seberang, Malaysia. Di negeri jiran tersebut buku itu sampai dicetak sembilan kali. Di Indonesia, roman berwajah kearifan adat yang dibumbui cinta kasih tersebut naik cetak hingga 14 kali. Namun, buku itu menjadi kontroversi setelah Buya Hamka meninggal. Dia dituduh plagiat. Sebab, karya tersebut mempunyai kemiripan cerita dengan karya sastrawan Prancis Alphonse Karr yang disadur dalam bahasa Arab oleh pengarang Mesir bernama Musthafa Luthfi Al Manfaluthi.

Benarkah seorang yang berani menolak keinginan penguasa Soekarno menjadi pegawai negeri dengan lebih memilih kebebasan hati nuraninya, melakukan hal yang remeh-temeh, bahkan mencuri karya orang lain? Dia adalah seorang genius negeri yang membaca karya Marx, Freud, Toynbee, Sarte, dan Camus bukan dalam bahasa Indonesia, tetapi bahasa Arab. Seorang yang menulis tentang nilai-nilai agama, filsafat, dan moralitas. Seorang yang dengan tekun menimba ilmu kepada HOS Tjokrominoto, Ki Bagus Hadikusumo, A.R. Fachrudin, RM Soerjopranoto, ataupun kepada A.R. Mansur.

Akankah dia melakukan hal memalukan itu? Apakah hal tersebut merupakan pengejawantahan dan penerusan kenakalannya semasa kecil, saat dia lebih senang menjadi wasit sepak bola, menjadi jockey, atau pendekar silat daripada belajar agama walaupun dia dititipkan ayahnya kepada ulama besar di Bukit Tinggi?

Sungguh hal yang patut dipertanyakan. Mempertanyakan pula bagaimana seorang yang tidak lulus SD, tetapi mampu membaca karya-karya besar cendekiawan masa Renaisans, pembawa masa gelap Eropa kepada terang pengetahuan, tidak dalam bahasa ibunya, tetapi dalam bahasa Arab. Bagaimana dia belajar keras menempa dirinya? Di manakah dia menemukan spirit menyala dan berkobar tak pernah padam untuk terus berkarya?

Spirit pembelajaran itulah yang kiranya perlu kita bidik, kita teladani. Dalam masa hidupnya yang relatif panjang, 73 tahun, 113 buku bukan merupakan karya yang sedikit.

Fenomena Buya Hamka adalah realitas sejarah yang harus mendapat apresiasi. Karya-karyanya menunjukkan bagaimana etos kerjanya yang tiada pantang menyerah. Buku-buku karangannya adalah kesejatian dirinya, fosil yang terus hidup sampai akhir zaman. Prasasti kehidupan yang patut kita tiru.

Wujud 113 buku menandakan bagaimana dia teguh menulis di tengah kesibukannya beraktivitas sebagai politikus, dosen, ulama, sastrawan, maupun akademisi. Jarang kita temui tokoh yang bisa hidup dalam kesunyiaan dunia tulis-menulis, tetapi bisa hidup berdampingan dengan ramainya kehidupan. Apalagi, sebagai seorang aktivis politik, Buya seakan tidak terpengaruh untuk terus menulis dan menulis. Kebesarannya cukup diungkapkan dengan kata-kata sederhana bahwa dia hanyalah seorang pengarang. (*)

*) Ahan Syahrul, bergiat di Komunitas Rumah Baca Cerdas Malang
Sumber www.jawapos.co.id

19 November 2009

Di Bawah Kuasa Komersialisme

SALAH satu tugas jurnalisme yang paling pokok dan penting ada­lah dua hal ini: mencerdaskan pu­blik dan melancarkan kritik alias mengontrol kekuasaan. Ini melekat pada media dan juga jurnalis. Un­tuk mencerdaskan publik, jurnalis dituntut meramu dan menyuguhkan suatu yang kompleks dan rumit menjadi bahasa sederhana yang bisa dipahami masya­rakat luas. Ia harus menulis untuk semua orang. Di sini, jurnalis wajib mengawamkan bahasa-bahasa tek­nis, tapi tak boleh kehilangan substansi --apalagi terdistorsi.

Tugas ini yang coba dilakoni penulis buku ini, mantan Kepala Seksi Peliputan RCTI Dandhy Dwi Laksono dalam buku dengan berjudul provokatif Indonesia for Sale. Saya menikmati buku ini se­­bagai reportase hidup penulisnya, khususnya dalam seting wak­tu antara 2006-2009, ketika ia menggawangi sebuah news room Seputar Indonesia. Pun begitu, ia menyi­sipkan pengalaman-pengalamannya di masa awal sebagai jurnalis, akhir 90-an. Jadi ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, pe­nulis menggunakan pengalamannya itu untuk mengudar masalah ekonomi politik yang hadir di negeri ini. Kedua, dia membahas sejumlah topik dengan memanfaatkan pengalaman-pengalamannya itu agar dekat dengan pembaca.

Berhasilkah? Saya kira ya, setidaknya dalam mengawamkan topik-topik berat lewat sejumlah tokoh fiktifnya sopir taksi, tukang toilet, tukang parkir, dan ma­hasiswa. Diskursus neoliberalisme yang sempat mencuat ketika Boediono dipilih SBY untuk mendampinginya maju dalam Pilpresadalah suatu yang lebih mudah dilabelkan pada subjek tertentu ketimbang dipahami.

Peraih penghargaan AJI Jakarta untuk liputan investigasi televise tentang pembunuhan Munir tahun 2008 ini mencari jalan lain untuk menjelaskannya. Lewat praktik kebijakan yang mengejawantah di masa Megawati Soekarnoputri hingga SBY. Lihatlah pada bagian pertama (Orang Awam

Menggugat), bagian kedua (Komersialisasi sampai Mati) dan bagian keempat (Neoliberalisme Kegemaran Republik Indonesia). Tiga bagian ini membuat pembaca ''ngeh'' atas persoalan se­perti alasan harga bahan bakar mi­nyak (BBM) naik turun, barang Indonesia tapi harga luar negeri, hingga komersialisasi di bidang pendidikan (makin dikukuhkan dengan terbitnya UU Ba­dan Hukum Pendidikan).

Ia tak sependapat dengan ko­mersialisasi pendidikan yang ditiupkan UU BHP. Baginya ini je­las menghalangi masyarakat -teru­tama warga miskin-- untuk menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi. UU ini memang me­ngatur bahwa biaya pendidikan yang ditanggung peserta didik tak lebih dari sepertiga, namun tetap saja itu tak menyelesaikan urusan. Rakyat kecil tak bakal mampu men­jangkau perguruan tinggi --bahkan andaipun tetap berstatus kampus negeri yang pembiayaannya disuntik dana pemerintah.

Maklum di antara penduduk mis­kin yang berpenghasilan Rp 20 ribu per hari hanya 3,3 persen yang bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Artinya, keluarga miskin yang tak pernah jadi sarjana, selamanya juga tak akan punya keturunan sarjana? Tak punya cucu dan cicit sarjana (hlm. 206-207).

Penulis menyesalkan sikap PDIP dan Golkar yang tak mau mengambil sikap bertolak belakang dengan Demokrat dalam urusan UU BHP. Maka, ''aku agak heran bila dalam kampanyenya, cawapres Prabowo Subianto menandatangani kontrak politik untuk mencabut UU BHP.'' Produk legislasi yang ikut disetujui oleh partai pasangannya (PDIP). Ketimbang berdebat soal komersialisasi pendidikan, penulis mengajak kita kem­bali pada konstitusi, yakni alinea keempat pembukaan UUD 1945. Salah satu alasan dibentuknya negara ini adalah untuk, ''mencerdaskan kehidupan bangsa''.

Apalagi pasal 31 menyebutkan setiap warga negara berhak men­dapat pendidikan. Nah, itu berarti menyediakan pendidikan itu tugas negara. Bukan tugas pasar. Bukan tugas pemodal swasta (hlm. 208). Neoliberalisme adalah paham yang berpangkal pada Friederich August von Hayek dan muridnya Milton Friedman. Keduanya menghendaki kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan peran pemerintah yang minim.

Regulator utama dalam kehidupan ekonomi, apalagi jika bukan mekanisme pasar. Menurut B. Herry Priyono (2007) neoliberalisme adalah bentuk kolonialisasi rangkap dari homo ekonomikus dan homo finansialis.

Yang pertama, kolonisasi homo ekonomikus atas dimensi-dimensi lain hidup manusia. Insting kita akan menghitung untung-rugi me­nurut seorang kapitalis. Ini kolonialisasi terhadap politik, pendidikan, cara berpikir, bahkan bere­lasi dengan orang.

Kedua, kolonisasi homo finansialis --menyangkut masalah ke­uangan-- atas homo realis (nyata). Homo ekonomikus itu berhadapan dengan kalkulasi untung rugi, uang, makanan, perumahan --bagaimana mencukupi kebutuhan hidup. Uang mengolonisasi apa saja yang real dan konkret.

Secara tepat itu dijelaskan Dan­dhy lewat komersialisasi Pantai Ancol atau Anyer. Ini diceritakan lewat Andre Vitchek, seorang warga asing yang heran atas mahalnya hidup di Jakarta. Bayangkan orang Jakarta bila ingin melihat laut di Ancol saja harus membayar, per keluarga Rp 40 ribu. ''Itu untuk masuk dan melihat laut saja. Apalagi di Anyer, laut dikapling-kapling menjadi hotel atau resor. Nelayan harus minggir di tempat tersendiri'' (hlm. 106). Bagi Andre, pantai yang tak boleh untuk umum itu aneh bin ajaib. Beda dengan Pantai Kuta -sentral kunjungan turis-- yang bisa dinikmati wisatawan kapan saja. Ini juga berlaku untuk parkir dan toilet. Kini nyaris tak ada lagi yang gratis di negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Dengan celetukan khas tokoh fiktifnya, penulis menyatakan si­kap atas sejumlah isu, masalah dan kasus yang menghiasi ruang publik. Dia betul-betul meringkus di­rinya untuk tak berperan sebagai pakar, kendatipun ia mampu me­lakukannya jika ditilik dari latar belakang pendidikannya yang jebolan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung serta kelananya ke sejumlah pojok dunia dari Tiongkok hingga Stir­ling, Skotlandia (seting lokasi film Brave Heart yang menceritakan kepahlawanan William Wallace). Ia memilih jadi jurnalis. Menyederhanakan suatu yang rumit, mes­ki tak lupa menyatakan sikap.

Buat penulis, awam kadang memang terjebak untuk berpikir naif. Namun itu bisa berarti kemurnian, menuntun manusia pada hakikat, pada orisinalitas. Pada sesuatu yang nirkepentingan. Suatu yang murni, yang sederhana dan tidak ru­mit atau dirumitkan oleh sistem.

Dengan buku ini, ia ingin mencontoh daya magis lagu-lagu Iwan Fals atau Ebiet G Ade: polos, lugas, murni, awam, naïf, tapi meng­hen­tak nalar (hlm. 124). Selain itu, bu­ku ini mengingatkan media untuk tidak lupa mengkritisi hakikat sistem (satu hal yang melandasi produk kebijakan ekonomi) dan tak hanya bertumpu pada mala­praktik dari dalam sistem yang dianut. Pun demikian, kritik tetap harus diberikan: karena terpedaya untuk mengawamkan topik yang dibahas itu, penulis kerap kali ter­­pelanting untuk melakukan penyederhanaan dan generalisasi. (*)

---

Judul Buku: Indonesia for Sale

Penulis: Dandhy Dwi Laksono

Penerbit: Pedati Surabaya

Cetakan: Oktober 2009

Tebal: xvi+316 halaman

---

Samsul Arifin dari film Anggota Klub film kounoatu dari SCTV
Sumber www.jawapos.co.id

12 November 2009

Revolusi Layanan Perpustakaan Nasional RI Berbasis Teknologi Informasi

Artikel ini dinobatkan sebagai Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

A. Pendahuluan

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, Perpustakaan Nasional adalah lembaga pemerintah non departemen yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibukota negara.
Mencermati paragraf di atas, terlihat bahwa fungsi yang diemban oleh Perpustakaan Nasional RI tidaklah ringan. Perlu suatu langkah yang cerdas agar aneka fungsi tersebut dapat terlaksana dengan baik. Salah satu langkah cerdas yang dapat ditempuh adalah dengan memberdayakan keberadaan teknologi Informasi dan bukan sekedar menggunakannya untuk menggantikan layanan manual.

Aneka fungsi di atas tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak ditunjang dengan pemberdayaan teknologi Informasi. Dengan teknologi Informasi, aneka fungsi tersebut akan lebih terasa manfaatnya oleh masyarakat. Dengan kata lain teknologi Informasi akan mampu meningkatkan kualitas layanan Perpustakaan Nasional RI.

B. Teknologi Informasi
Teknologi Informasi (selanjutnya disingkat TI) adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global (Wawan Wardiana, 2002)

Melihat perkembangan TI di tanah air terasa seperti ada sesuatu yang salah. Ibaratnya seperti, “sayur tanpa garam”. Kebangkitan Korea Selatan dengan TI menarik untuk dipergunakan sebagai “pisau analisa” untuk membedah fenomena ini. Negara ini terbukti mampu menjadi pemain utama sebagai negara produsen TI.

Korea adalah negara pertama yang meluncurkan produk layanan telepon mobile CDMA secara komersial pada tahun 1996. Dua tahun kemudian, jasa layanan internet broadband yang pertama di dunia juga diluncurkan di negeri ini. Disusul capaian spektakuler lain, seperti digital broadcasting (2001), peluncuran e-government (2002), pembangunan layanan percontohan Wireless Broadbank Internet/Wibro (2004), dan peluncuran Digital Multimedia Broadcasting/DMB (2005).

Booming industri teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadi salah satu faktor penting di balik cepat pulihnya ekonomi Korsel dari krisis finansial 1997 dan menjadi perekonomian yang jauh lebih kuat. Dalam tiga tahun transaksi e-commerce meningkat dari 7,2 juta transaksi (2003) menjadi 12,8 juta (2006).

Ekspor produk ICT pun melonjak dari 48,4 miliar dolar AS (2001) menjadi 113,3 miliar dollar AS (2006). Sumbangan komponen ICT dalam produk domestik bruto (PDB) riil nasional melonjak dari 10,1 persen (2001) menjadi 16,2 persen pada kurun waktu yang sama.

Pertumbuhan pesat internet dari industri ICT ini dipicu oleh dua hal. Pertama, cepatnya adaptasi masyarakat terhadap teknologi baru. Antusiasme ini tak bisa dilepaskan dari budaya self education bangsa Korsel. Revolusi di bidang teknologi digital tak mungkin terjadi tanpa ada dukungan konsumen yang sangat terbuka pada teknologi dan inovasi baru.

Tingkat penetrasi internet di level rumah tangga mencapai hampir 80 persen, sementara di kalangan industri hampir 100 persen. Internet dengan cepat menggantikan TV sebagai sumber utama informasi. Dari ibu rumah tangga, siswa SD, pedagang kecil, hingga pekerja kantoran sudah memanfaatkan jasa internet. Dalam empat tahun, pendapatan bisnis jasa internet melonjak 10.000 persen dari 36,4 miliar won (1999) menjadi 3.700 miliar won (2003)

Faktor kedua adalah ketatnya persaingan antar penyedia jasa internet, seperti Korea Telecom, Hanaro, dan Thrunet, yang menyebabkan konsumen bisa menikmati harga murah. Tak kalah penting adalah dukungan kebijakan pemerintah lewat strategi IT839 dan e-korean program melalui pembangunan jaringan infrastruktur informasi dan komunikasi berkecepatan tinggi sejak 1995.

Hasilnya, Korsel berhasil mewujudkan ambisi menjadi information society pada abad ke-21, jauh lebih cepat dari yang ditargetkan. Dalam indeks informatisasi global, posisi Korsel terus meningkat dari urutan 22 (1998) menjadi 12 (2003) dan 3 (2005). Untuk Digital Oppurtinity Index yang disusun Inter national Telecommunication Union, Korsel di urutan teratas selama dua tahun berturut-turut. Sebagai kota, ibu kota Seoul juga masih tetap teratas dalam e-gonernance, mengalahkan Hongkong, Heksinki, Singapura, Madrid, dan London.

Basis pengetahuan dan kultur baca tulis yang kuat merupakan rahasia utama kesuksesan Korea. Basis pengetahuan yang kuat memungkinkan Korea untuk melakukan loncatan besar dalam sebuah creative innovation, hingga akhirnya mampu melakukan inovasi sendiri dan menjadi negara maju saat ini.

Ketika perang Vietnam usai dan Presiden Amerika menawarkan bantuan untuk Korea atas jasanya selama perang tersebut, tak banyak yang diminta Presiden Park saat itu. Amerika akhirnya membangunkan untuk Korea laboratorium Iptek besar yang kemudian bernama KIST (Korean Institute of Science and Technology). KIST inilah yang memiliki peran besar dalam membangun basis pengetahuan yang kuat di Korea.

Basis pengetahuan yang kuat akan sulit diwujudkan tanpa adanya kultur baca tulis yang kuat pula. Hampir semua informasi dan ilmu pengetahuan tersedia dalam bentuk tulisan (buku, majalah, jurnal, koran, brosur, pamflet, dsb). Informasi dalam bentuk tulisan memiliki banyak keunggulan dibanding media-media dalam bentuk lain. Walaupun kini telah tersedia internet yang membantu kita menyediakan berbagai informasi, tapi buku tetap menjadi instrumen utama. Kebijakan yang paling penting dalam mendorong budaya baca tulis ini adalah adanya perpustakaan.

TI dan perpustakaan dapat diibaratkan sebagai “dua sisi dari satu mata uang yang sama”. Keberadaan TI akan memudahkan perpustakaan dalam mengaplikasikan konsep manajemen ilmu pengetahuan. TI akan memudahkan perpustakaan dalam melakukan pengembangan pangkalan data, penelusuran informasi, transformasi digital, dan promosi.

TI tanpa dukungan perpustakaan hanya akan menghasilkan teknologi konsumtif, teknologi yang mandul. Perpustakaan berperan meletakkan dasar yang kuat untuk membentuk masyarakat yang melek informasi. Masyarakat yang mampu memberdayakan informasi bukan sekedar mengkonsumsi informasi. Jadi, perpustakaan berperan untuk menyiapkan masyarakat agar “siap menikmati” TI.

Kesiapan ini cukup penting agar masyarakat dapat memaksimalkan peran TI untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ironisnya, sampai saat ini kesiapan masyarakat untuk mengoptimalkan TI belum menggembirakan. Fenomena ketidaksiapan ini, tampak pada : pertama, fenomena pornografi dan chatting di internet.

Masyarakat yang tidak siap hanya akan tertarik dengan informasi sampah yang ada di internet dan alergi dengan informasi penuh gizi yang juga disediakan oleh internet. Realitas membuktikan hampir delapan puluh persen pengguna internet kita menyukai situs-situs yang mengandung pornografi dan pornoaksi. Internet juga hanya dipergunakan untuk keperluan yang tidak produktif semacam “chatting” yang merupakan kemasan baru dari kebiasaan “ngerumpi” masyarakat. Dalam hal ini adanya internet malah makin mengukuhkan tradisi lisan bukan tradisi baca dan tulis masyarakat.
Kedua, fenomena hotspot. Hotspot dengan mudah bisa ditemukan di setiap tempat. Sekolah, kampus, kedai, angkringan, kafe, dan mal. Dengan hanya bermodalkan laptop dan duduk lesehan di kafe, seseorang bisa berselancar sepuasnya di dunia maya. Hal inilah yang mendorong meningkatnya penjualan laptop.

Namun ironisnya, demam hotspot yang saat ini melanda masyarakat belum memicu bangkitnya kesadaran untuk memanfaatakan teknologi dan hanya menunjukkan perayaan konsumerisme belaka. Menurut Arie Sujito (2008), sosiolog Universitas Gadjah Mada, demam hotspot yang terjadi baru sebatas trend gaya hidup. Yakni masih sebatas sebagai pengguna dan belum benar-benar memanfaatkan teknologi itu untuk meningkatkan kualitas pribadi. Buktinya, kawasan hotspot yang sering diserbu bukan perpustakaan melainkan kafe atau mal.

Ketiga, fenomena buku paket elektronik dari Depdiknas. Sekolah diperkirakan tidak bisa menggunakan buku paket elektronik secara maksimal dengan terbatasnya sarana dan prasarana pendukung, seperti komputer yang terkoneksi internet. Sekolah harus mengeluarkan biaya besar untuk mengadakan teknologi pendukung buku paket elektronik tersebut.

C. Revolusi Layanan
Pada bagian pendahuluan, penulis sudah sedikit mengungkapkan tentang urgensi peningkatan kualitas layanan Perpustakaan Nasional RI. Peningkatan kualitas layanan ini sangat terkait dengan kedudukan Perpustakaan Nasional RI sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan. Keenam fungsi ini dituntut dapat memberikan layanan yang terbaik kepada masyarakat. Dengan kata lain dapat memberikan kepuasan kepada pemustaka di seluruh pelosok tanah air.

Peningkatan kualitas layanan secara holistik ini lebih tepat disebut dengan istilah “Revolusi Layanan”. Mengapa ? Karena untuk mencapainya diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang heroik dari semua unsur di Perpustakaan Nasional RI. Perlu kerja keras dan kerja sama semua pihak dalam memberikan kepuasan kepada pemustaka.

Revolusi layanan perpustakaan diharapkan dapat membawa Perpustakaan Nasional RI menjadi perpustakaan penelitian. Menurut Soeatminah (1999) ada tiga tahap perkembangan perpustakaan, pertama, tahap gudang buku (Store House Period). Dalam tahap ini, perpustakaan hanya berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan dan merawat buku, dengan tujuan utama menyelamatkannya dari kerusakan.

Kedua, tahap layanan (Service Period). Tahap ini ditandai dengan meningkatnya jumlah koleksi bahan pustaka dan jumlah masyarakat pemakainya. Bidang layanan perpustakaan mendapat tantangan dari masyarakat pengguna yang berharap dapat memperoleh layanan yang baik.

Ketiga, tahap pendidikan dan penelitian (Educational and Research Period). Perpustakaan pada tahap ini berfungsi sebagai tempat untuk mendidik dan mengembangkan masyarakat penggunanya. Perpustakaan dituntut untuk mampu memberi kepuasan kepada masyarakat pemakainya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama bagi mereka yang betul-betul menekuni bidang ilmunya. Perpustakaan bagi pendidik dan peneliti merupakan penyalur informasi sekaligus sebagai sumber inspirasi.


1. Revolusi layanan perpustakaan pembina.
Sebagai perpustakaan pembina, Perpustakaan Nasional RI dituntut untuk memberikan layanan tentang tata cara pengelolaan perpustakaan yang baik dan benar kepada seluruh perpustakaan yang ada di tanah air. Situs resmi Perpustakaan Nasional RI mesti memuat buku pedoman penyelenggaraan perpustakaan yang mudah diakses oleh publik. Tata cara pengolahan bahan pustaka seperti : klasifikasi, inventarisasi, pemasangan kelengkapan buku, dan katalogisasi merupakan menu yang wajib ada dalam website Perpustakaan Nasional RI. Demikian pula dengan tata cara layanan perpustakaan, juga harus menjadi bagian dari “menu” pembinaan tersebut.

Perpustakaan Nasional RI dapat membuat buku pedoman klasifikasi DDC (Decimal Dewey Classification), pedoman tajuk subyek, dan Peraturan Katalogisasi Indonesia dalam bentuk buku digital yang bebas didownload oleh pengelola perpustakaan maupun masyarakat. Selama ini publik masih mengalami kesulitan untuk memperoleh buku-buku yang notabene merupakan “kitab suci” dunia perpustakaan di tanah air. Dengan kebijakan ini diharapkan segala peraturan yang berkaitan dengan dunia perpustakaan makin dipahami oleh pengelola perpustakaan di tanah air.

Modul-modul diklat yang selama ini diproduksi oleh Pusat Diklat Perpustakaan Nasional RI dapat dibuat dalam format digital dan ditampilkan dalam situs resmi Perpustakaan Nasional RI agar dapat diakses publik secara terbuka. Selama ini yang ada dalam website hanya buku-buku yang dapat dikategorikan dalam “pedoman umum dan petunjuk umum”. Belum secara spesifik dan rinci mengajarkan ilmu perpustakaan dan kepustakawanan. Dengan demikian mereka yang awam tentang perpustakaan pun diharapkan dapat secara cepat dan praktis memahami dunia perpustakaan.

Selain itu, dengan digitalisasi modul-modul belajar tersebut Pusdiklat Perpustakaan Nasional RI juga dapat menggelar program diklat perpustakaan jarak jauh. Diklat perpustakaan jarak jauh ini merupakan wujud praktis pemberdayaan TI untuk semakin mempercepat proses pembinaan perpustakaan di tanah air.

2. Revolusi layanan perpustakaan rujukan.
Arah pengembangan revolusi layanan rujukan adalah terwujudnya perpustakaan hibrida (hybrid library). Christine L Borgman (2003), mengungkapkan bahwa perpustakaan hibrida adalah perpustakaan yang didesain untuk mengelola teknologi dari dua sumber yang berbeda, yaitu sumber elektronik dan sumber koleksi yang tercetak yang dapat diakses melalui jarak dekat maupun jarak jauh.

Berbeda dengan perpustakaan digital, konsep perpustakaan hibrida berusaha mempertahankan koleksi tercetak, bukan menggantikan semuanya dengan koleksi digital. Perpustakaan hibrida memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya. Perpustakaan hibrida berusaha memperluas konsep dan cakupan jasa informasi, sehingga penambahan koleksi digital dan penggunaan teknologi komputer tidak bisa dipisahkan dari jasa berbasis koleksi tercetak.

Negara yang termasuk paling aktif melakukan penelitian dan pengembangan konsep perpustakaan hibrida adalah Inggris. Negara ini menyelenggarakan lima proyek perpustakaan hibrida, masing-masing diberi nama BUILDER, AGORA, MALIBU, Headline, dan Hylife. Kelimanya merupakan bagian dari proyek besar E-Lib. Masing-masing proyek ini memiliki ciri tersendiri namun secara bersama mereka mencari cara terbaik mengembangkan jasa perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi terbaru.

BUILDER Hybrid Library, dikembangkan di University of Birmingham untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tinggi, mulai dari mahasiswa, pengajar, sampai para pengelola kampus. Proyek ini berkonsentrasi pada pengamatan tentang lingkungan penyediaan jasa informasi yang menggabungkan jasa perpustakaan biasa dan jasa elektronik. Kebetulan, pada saat bersamaan University of Birmingham juga sedang mengembangkan lingkungan belajar baru yang memanfaatkan teknologi komputer.

AGORA merupakan sebuah konsorsium yang dipimpin oleh University of East Anglia dengan konsentrasi pada Hybrid Library Management System. Dalam proyek ini, perhatian diberikan kepada pengembangan sistem informasi berbasis konsep “ cari-temukan, diminta-sajikan”. Berbagai eksperimen dilakukan untuk mengembangkan sebuah layanan terintegrasi, menggunakan standar Z39.50, yang menyatukan berbagai fungsi dan jasa perpustakaan ke dalam satu layanan berbasis web. Pemakai diharapkan dapat terbantu oleh sebuah layanan yang serupa untuk berbagai macam keperluan menggunakan berbagai jenis media, baik yang ada di koleksi lokal perpustakaan, maupun yang ada di koleksi perpustakaan yang lain.

MALIBU dikembangkan oleh King’s College London. Khusus untuk mempelajari pengembangan perpustakaan hibrida di bidang ilmu budaya (humanities). Menarik untuk dicatat, proyek ini mempelajari pula kemungkinan keterlibatan para pemakai jasa dengan mengajak mereka membuat sebuah User Scenario. Para teknolog dan pustakawan kemudian menerapkan skenario ini pada rencana pengembangan dan manajemen jasa.
Headline Project dikerjakan oleh London School of Economics, bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal dengan mengembangkan sebuah portal yang memungkinkan para pengguna perpustakaan mengakses informasi secara digital maupun manual secara terintegrasi. Portal ini dapat diubah sesuai selera pengguna dan memberikan fasilitas untuk menghimpun pengguna yang memiliki kepentingan sama dalam satu kelompok khusus.

HuLife di University of Northumbria memfokuskan diri pada masalah-masalah non-teknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasil proyek ini adalah Hybrid Library Toolkit, sebuah panduan yang ingin mengembangkan jasa elektronik mereka yang sesuai dengan kebutuhan institusi.

3. Revolusi layanan perpustakaan deposit.
Salah satu tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional RI adalah sebagai pusat deposit terbitan nasional dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Berdasarkan undang-undang tersebut, Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Nasional Provinsi mendapat tugas untuk melakukan penghimpunan, penyimpanan, dan pelestarian bahan karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan di wilayah Indonesia.

Namun upaya untuk menghimpun terbitan nasional ini masih mengalami hambatan, antara lain masih kurangnya kesadaran penerbit, terutama penerbit pemerintah, untuk menyerahkan terbitannya kepada Perpustakaan Nasional RI guna dilestarikan. Hambatan ini diperparah dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang menyebabkan Perpustakaan Nasional Provinsi menjadi asset Pemerintah Provinsi.

Dari terbitan buku per tahun sebesar 7.500 judul (hasil survei kajian terbitan buku tahun 2002 dan 2003 di Indonesia oleh Perpustakaan Nasional bekerja sama dengan Lembaga Penelitian IPB), baru 375 judul (tahun 2002) dan 400 judul (tahun 2003) yang diserahkan penerbit kepada Perpustakaan Nasional. Sebagian besar dari yang diserahkan itu terdiri dari terbitan non-pemerintah.

Untuk mengoptimalkan pengumpulan serah-simpan karya cetak dan karya rekam Perpustakaan Nasional RI dan perpustakaan daerah provinsi harus melakukan “layanan jemput bola”. Untuk memaksimalkan hasil layanan jemput bola, libatkan keberadaan perpustakaan umum kabupaten/kota. Lagi pula saat ini adalah era otonomi daerah, sehingga wajar jika perpustakaan umum kabupaten/kota mendapat peran yang cukup signifikan.

Setiap bulan perpustakaan umum kabupaten/kota dapat diminta partisipasinya untuk memantau jumlah penerbitan karya cetak dan karya rekam baru di masing-masing kabupaten/kota di tanah air. Perpustakaan umum kabupaten/kota juga dapat dijadikan sebagai tempat transit sementara bagi penerbit/pengusaha rekaman yang ingin menyerahkan karya cetak/karya rekam terbarunya. Selanjutnya perpustakaan umum kabupaten/kotalah yang mengirimkan kepada perpustakaan daerah provinsi untuk diteruskan kepada perpustakaan nasional. Dengan demikian penerbit dan pengusaha rekaman tak perlu repot-repot menyerahkan sendiri ke perpustakaan nasional.
Layanan jemput bola ini akan semakin efektif jika disatukan dengan desentralisasi pemberian nomor ISBN (International Standart Book Numbers) dan barcode harga yang sangat diperlukan penerbit untuk memasarkan produknya baik di dalam maupun luar negeri/internasional.

Dengan desentralisasi ISBN, maka penerbit cukup mengurus ISBN di perpustakaan umum kabupaten/kota yang dirancang online dengan perpustakaan daerah provinsi dan perpustakaan nasional. Desentralisasi ISBN akan semakin memudahkan proses pemantauan dan pengumpulan karya cetak dari penerbit karena dilayani secara langsung oleh perpustakaan umum kabupaten/kota. Layanan penerbitan ISBN yang terpadu dengan layanan untuk menerima serah-simpan karya cetak ini diharapkan dapat meminimalkan tidak terdeteksinya penerbitan buku baru oleh perpustakaan seperti yang terjadi selama ini.

Untuk lebih meningkatkan partisipasi penerbit, Perpustakaan Nasional RI dapat memberikan alternatif kepada penerbit untuk mengirimkan buku terbitannya dalam bentuk buku digital. Buku digital ini dapat dimuat di situs deposit Perpustakaan Nasional RI agar dapat diakses oleh publik.

Publik dapat membuka layanan buku digital ini, namun tidak dapat mendownload buku ini. Dalam hal ini perpustakaan deposit juga berfungsi sebagai media promosi buku baru sehingga akan menguntungkan penerbit buku. Jika seseorang menghendaki buku baru tersebut, dapat membeli secara langsung di toko buku.

4. Revolusi layanan perpustakaan penelitian/riset.
Revolusi layanan ini dapat dimulai dengan mengembangkan Perpustakaan Nasional RI sebagai pusat riset/penelitian. Perpustakaan riset punya berbagai ciri, yaitu, pertama, koleksinya yang komprehensif dan mengarah khusus pada bidang kajian penelitian tertentu. Jadi, koleksi buku Perpustakaan Nasional RI perlu diarahkan pada terwujudnya aneka pusat koleksi bidang penelitian tertentu. Seperti pusat koleksi penelitian bidang bahasa, pusat penelitian bidang sains, dan pusat penelitian bidang ilmu sosial.

Kedua, koleksinya selalu mutakhir. Kemutakhiran koleksi perpustakaan riset sangat penting, karena peneliti membutuhkan informasi tentang perkembangan terbaru di bidang yang menjadi kajian penelitiannya. Biasanya, koleksi mutakhir tersebut berupa jurnal ilmiah.

Ketiga, dominan pemakai perpustakaan riset ialah para peneliti profesional ataupun civitas akademika yang sedang menjalankan aktivitas penelitian. Spesialisasi layanan perpustakaan riset ialah Current Awareness Service (CAS) sebagai layanan yang mendukung dinamika kebutuhan dan mobilitas para peneliti sebagai kliennya.

Sebagai perpustakaan riset, Perpustakaan Nasional RI perlu melakukan inovasi-inovasi layanan agar lebih dikenal oleh para peneliti dan akademikus. Menurut Fadil Hasan, sebagaimana dikutip Tempo Interaktif, 23 Mei 2005, hanya 20 persen peneliti yang memanfaatkan fasilitas Perpustakaan Nasional. Survey dilakukan terhadap 60 orang peneliti di Jakarta dan Bogor. Dari survey itu, 65 persen lainnya malah sama sekali belum pernah ke Perpustakaan Nasional. Sisanya, hanya sesekali berkunjung.

Menurut Fadil, para responden umumnya berpendapat bahwa perpustakaan yang terdapat di bilangan Salemba, Jakarta Pusat ini, koleksinya tidak lengkap dan kurang spesifik. Selain itu, mereka lebih banyak menggunakan internet untuk memperdalam penelitiannya. Sebanyak 70 persen menggunakan internet.

Fungsi sebagai perpustakaan riset menghendaki Perpustakaan Nasional mampu memberikan layanan kepada pemustaka yang hendak melakukan penelusuran informasi. Fungsi ini perlu di respon oleh Perpustakaan Nasional RI dengan melakukan revolusi diri menjadi perpustakaan digital yang senantiasa “up to date” memberikan informasi yang cepat dan tepat kepada masyarakat.

Perpustakaan riset dapat melengkapi diri dengan menyusun secara mandiri ensiklopedia digital, kamus digital, handbook digital, guidebook digital, direktori digital, dan almanak digital. Tanpa langkah ini, fungsi sebagai perpustakaan riset tidak akan berjalan dinamis.

Subhan (2006) mengungkapkan bahwa digitalisasi merupakan salah satu langkah agar akses informasi dan kerjasama antarperpustakaan menjadi semakin lancar. Dengan digitalisasi, para peneliti dapat dengan mudah mengakses informasi untuk kebutuhan penelitiannya.

Perpustakaan riset memberikan harapan kemajuan dan kemakmuran. Dengan riset, ilmu pengetahuan makin berkembang. Harapannya, perkembangan itu melahirkan efek bola salju berupa meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Negara-negara maju sejak lama menyadari besarnya manfaat riset. Lewat riset, berbagai inovasi bermunculan sehingga bisa dijadikan komoditas bernilai jual dan daya saing tinggi.

5. Revolusi layanan perpustakaan pelestarian.

Arah revolusi dalam layanan bidang pelestarian adalah mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasional RI dalam format digital. Saat ini Perpustakaan Nasional RI memang telah memiliki beberapa naskah kuno yang sudah dialihmediakan dalam format digital, seperti Barmartani (Soerakarta, 1855) dan Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858).

Namun, naskah-naskah kuno ini belum dapat diakses oleh publik melalui internet (format digital). Padahal salah satu tujuan dari pelestarian naskah-naskah kuno adalah adanya proses eksplorasi dan eksploitasi terhadap naskah kuno tersebut. Pembukaan akses secara terbuka terhadap publik akan meningkatkan kadar kegunaan dan keterpakaian naskah-naskah tersebut.

Alangkah indahnya, jika publik dapat mengakses koleksi surat kabar milik Perpustakaan Nasional RI yang terbit pada masa Perang Diponegoro melalui internet. Hal ini tentu akan menambah wawasan sejarah anak bangsa ini melalui rekaman tertulis para jurnalis pada masa itu.

Bila selama ini pengetahuan tentang Perang Aceh, Perang Diponegoro dan Perang Padri, hanya diperoleh dari buku sejarah, maka surat kabar yang terbit di zaman penjajahan memberi informasi secara langsung kejadian tersebut. Dengan demikian publik dapat mengikuti dengan lebih rinci mengenai tokoh dan peristiwa penting yang kelak dikemudian hari menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini.

Selain itu, Perpustakaan Nasional RI juga harus membuat “tafsir/penjelasan” dari naskah-naskah kuno yang menjadi koleksinya. Penjelasan naskah ini menjadi penting pula untuk dipublikasikan dalam website Perpustakaan Nasional RI agar warisan luhur budaya bangsa lebih dikenal dan di sayang oleh masyarakat.

6. Revolusi pusat jejaring perpustakaan.

Menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, tentang Perpustakaan, menyebutkan bahwa perpustakaan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka. Tujuan kerjasama ini adalah untuk meningkatkan jumlah pemustaka yang dapat dilayani dan meningkatkan mutu layanan perpustakaan. Kerjasama ini dilakukan dengan memanfaatkan sistem jejaring perpustakaan yang berbasis TI dan komunikasi.

Sampai saat ini tak ada satupun perpustakaan yang dapat menahbiskan dirinya sebagai perpustakaan paling lengkap di dunia. Tahbis yang ada baru sebatas perpustakaan dengan jumlah koleksi terbanyak. Untuk itu diperlukan kerjasama antar perpustakaan guna saling asah, asih, dan asuh dalam meningkatkan layanan kepada pemustaka.

Perpustakaan Nasional RI yang merupakan “payungnya” seluruh perpustakaan di tanah air sudah sewajarnya memelopori terbentuknya jaringan perpustakaan berbasis TI di tanah air. Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk jaringan nasional Perpustakaan Daerah Provinsi di Indonesia.

Langkah kedua adalah membentuk jaringan nasional perpustakaan umum kabupaten/kota dalam setiap provinsi. Hal ini dapat dikoordinasikan dengan setiap Perpustakaan Daerah Provinsi yang ada di Indonesia. Berikutnya, membentuk jaringan nasional perpustakaan perguruan tinggi se-Indonesia. Hal ini dapat dimulai dari perpustakaan perguruan tinggi negeri (PTN) .

Untuk mempercepat terbentuknya jaringan perpustakaan ini, Perpustakaan Nasional RI perlu melakukan langkah revolusi dengan membuat program otomasi perpustakaan gratis yang dapat diunduh oleh masyarakat di website Perpustakaan Nasional RI. Penyusunan format MARC untuk Indonesia (INDOMARC) tanpa diikuti dengan langkah nyata ini tidak akan banyak membawa arti. Mengingat tidak semua perpustakaan di tanah air mampu membeli program otomasi secara mandiri.

Perpustakaan Nasional RI dapat menyempurnakan program otomasi gratis dari UNESCO seperti CDS/ISIS maupun WIN ISIS sehingga selain dapat dipergunakan untuk pangkalan data juga dapat dipergunakan untuk layanan. Dengan langkah ini, seluruh perpustakaan di tanah air dapat memperoleh program otomasi yang mudah dan murah yang kelak akan mempercepat proses pembentukan jaringan informasi nasional perpustakaan.

E. Penutup

Perpustakaan dan teknologi informasi dapat diibaratkan “dua sisi dari satu mata uang yang sama”. Perpustakaan memerlukan TI untuk meningkatkan kualitas layanan dan kepuasan pemustaka. Sebaliknya, TI tanpa pedampingan perpustakaan hanya sebatas melahirkan masyarakat informasi yang semu. Masyarakat yang merasa sudah mengerti TI, tetapi pengetahuannya tentang TI tidak membawa dampak apa pun bagi peningkatan kualitas hidupnya.

Sinergi perpustakaan dan TI akan menghasilkan kultur masyarakat yang bukan sekedar “memakai” TI melainkan memberdayakan TI untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu “Revolusi Layanan Perpustakaan Nasional RI Berbasis TI” menjadi suatu keniscayaan. Revolusi ini di masa depan akan mampu merevolusi diri karakter bangsa ini dari bangsa “pemakai” TI menjadi bangsa yang mampu memberdayakan TI. Revolusi yang mampu membangunkan bangsa ini dari keterpurukan.

Romi Febriyanto Saputro, S. IP adalah PNS Pada Kantor Perpusda Kab. Sragen

10 November 2009

Menulis Biografi Pahlawan

Oleh Bandung Mawardi

BUKU adalah kunci untuk publikasi sosok dan nilai pahlawan. Rezim Orde Lama menjalankan operasionalisasi untuk publikasi pahlawan dengan membentuk Lembaga Sejarah dan Antropologi (1958). Lem­baga itu memiliki misi membuat buku biografi para pahlawan. Orde Baru melanjutkan misi dengan membentuk Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (1979). Klaus H. Schreiner (2005) mencatat pada 1983 lembaga itu telah menerbitkan 73 biografi pahlawan.

Penulisan buku biografi pahlawan rentan dengan intervensi, manipulasi, dan distorsi. Buku-buku biografi versi pemerintah cende­rung menjadi aksentuasi nilai dan efek po­litis. Buku-buku biografi adalah medium pengesahan dan pengajaran mengenai pah­lawan. Misi dari pemerintah mendapati tan­dingan dari individu dan institusi dalam menulis pahlawan dalam bentuk biografi dan novel.

***

Kuntowijoyo (1994) menyebutkan bahwa penulisan buku biografi di Indonesia didominasi oleh pengarang dan jurnalis. Fakta itu menjadi satire atas kompetensi ahli sejarah untuk menuliskan biografi tokoh. Penulisan buku biografi sejak 1950-an menunjukkan peran dari kalangan pengarang dan jurnalis. Misalnya, M. Balfas menulis Dr. Tjiptomangunkusumo, Hazil Tanzil menulis Teuku Umar dan Cut Nya Din, Matu Mona menulis H. Husni Thamrin dan W.R. Soepratman, Pramoedya Ananta Toer menulis Panggil Aku Kartini Saja, dan lain-lain.

Kehadiran buku biografi pun dibarengi dengan penerbitan novel-biografi. Novel memiliki kemungkinan untuk memadukan fakta sejarah, interpretasi, dan olahan imajinasi. Novel hadir sebagai medium unik untuk publikasi biografi dan interpretasi mengenai sosok pahlawan. Publikasi no­vel-biografi pahlawan: Surapati karangan Abdul Muis, Jejak Kaki Walter Monginsidi karangan S. Sinansari Ecip, Cermin Kaca Soekarno karangan Mayong Sutrisno, Cut Nya Dien karangan Ragil Soewarno Pragolapati, dan lain-lain.

Interpretasi-imajinatif memungkinkan ada perbedaan kentara dengan olahan fakta sesuai dengan disiplin ilmu sejarah. Novel-biografi memang tidak menjadi sum­ber sahih dalam penelusuran sejarah tapi memberi jalan lain atas pengetahuan sisi-sisi kehidupan pahlawan. Novel-biografi itu memiliki peran unik dalam dominasi penerbitan buku-buku biografi pahlawan.

***

Ikhtiar menulis biografi pahlawan pun dilakukan oleh ahli dan peneliti mumpuni di luar imperatif dan proyek pemerintah. Publikasi fenomenal tampak dalam majalah Prisma No. 8 Tahun 1977 terbitan LP3ES dengan titel Manusia dalam Kemelut Sejarah. Edisi itu memuat studi kritis mengenai sosok Soekarno, Soedirman, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Tan Malaka. Artikel-artikel itu mengungkap kontroversi dan bias dalam pengetahuan publik terhadap pahlawan.

Edisi lanjutan dari studi intensif dan kritis itu hadir dalam buku Sejarah Tokoh Bangsa (2005) dengan editor Yanto Bashri dan Suffani. Buku itu memuat tambahan studi kritis biografi Mohamad Hatta, W.R. Supratman, Muhammad Yamin, dan Hasyim Asy'ari. Kehadiran artikel-artikel tentang pahlawan itu melengkapi penerbitan buku-buku biografi otoritatif: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia garapan Cindy Adams, seri Tan Malaka garapan Harry A. Poeze, seri Diponegoro garapan Peter Carey, Mohammad Hatta: Biografi Politik garapan Deliar Noer, Kartini: Sebuah Biografi garapan Siti Soemandari Soeroto, Cut Nya Din: Kisah Ratu Perang Aceh garapan M.H. Skelely Lulofs, dan lain-lain.

Penulisan buku-buku biografi pahlawan dengan studi intensif dan kritis terus dilakukan untuk memberi kontribusi sebagai medium pengetahuan sejarah dan meluruskan kontroversi dan bias dalam penerbitan buku-buku biografi versi lama dalam intervensi penguasa. Kesahihan dalam pemakaian sumber-sumber sejarah, interpretasi, dan struktur tulisan dalam buku biografi kerap menjadi polemik (perdebatan) panjang dengan pelbagai perspektif dan argumentasinya.

***

Buku Seabad Kontroversi Sejarah (2007) garapan Asvi Warman Adam memuat kritik keras mengenai publikasi buku biografi karena ada bias, dilema, dan sisi gelap tak terungkap. Kontroversi kentara adalah argumentasi untuk menobatkan seseorang sebagai pahlawan atau pemberontak mengacu pada pelbagai peristiwa dan kontribusi untuk Indonesia. Kontroversi mengenai sebutan pahlawan atau pemberontak terhadap sosok-sosok penting dalam perjalanan sejarah Indonesia menemukan mo­­mentum pada pasca-Orde Baru dengan wa­cana pelurusan atau revisi sejarah.

Kontroversi dengan dilema untuk meragukan atau menguatkan peran pahlawan mu­lai menjadi polemik panjang di media massa. Polemik itu terkadang menimbulkan kejutan dan kegamangan. Rentetan polemik itu menjadi bahan bagi Eka Nada Shofa Alkhajar untuk menulis buku Pahlawan-Pahlawan yang Digugat (2008). Buku ini memuat jejak tafsir kontroversi atas kepah­lawanan Kartini, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Ida Agung Gde Agung, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Tambusai. Kontroversi itu sampai hari ini belum menemukan titik terang dan konklusi mumpuni. Begitu. (*)

*) Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai

Tak Kembalikan Bumbunya
Sumber www.jawapos.co.id

08 November 2009

31 Oktober 2009

Pemkab Sragen Buka Lowongan CPNS Pustakawan

Info selengkapnya klik judul di atas.

20 Oktober 2009

Kisah Buku Loak

Pada suatu hari, Miquel de Cervantes menemukan sebuah buku berjudul Sejarah Don Quixote dari la Mancha di sebuah toko buku loak. Buku itu ditulis sejarawan Arab bernama Cid Hamet Benengelli dalam bahasa Arab. Karena tak paham bahasa Arab, Cervantes meminta bantuan seorang Moor untuk menerjemahkan naskah kuno itu ke bahasa Spanyol. Dan, buku yang telah diterjemahkan itu kemudian dia tulis kembali dengan judul Petualangan Don Quixote. Singkat cerita, kehadiran buku itu memberikan corak baru dalam sejarah sastra dunia. Inti temanya yang membicarakan kegilaan yang bangkit dari gugusan imajinasi terus terdengar pengaruhnya, misalnya dalam novel Perjalanan ke Timur (1932) karya Herman Hesse yang terbit berabad-abad kemudian.

Pada suatu hari yang lain, Osman -seorang mahasiswa teknik sipil Turki- membeli sebuah buku di toko buku loak. Buku itu tergeletak di antara jajaran buku-buku tua, pamflet-pamflet kuno, buku novel cinta, berjilid-jilid puisi, dan ramalan. Disebabkan membaca buku itu, seluruh hidup Osman pun lantas berubah; dia terpengaruh oleh gagasan tentang malaikat yang terurai dalam buku itu sehingga terobsesi untuk mencari makna-makna misterius yang terkandung dalam buku itu. Sampai-sampai, Osman mengambil pilihan untuk menelantarkan studinya demi memecahkan kemisteriusan yang terkandung dalam buku itu.

Barangkali Cid Hamet Benengelli dan Osman hanyalah seorang tokoh fiktif. Barangkali pula tak sepenuhnya demikian. Nama Cid Hamet Benengelli disebut oleh Cervantes ketika dia mengaku bahwa Don Quixote de la Mancha (volume II, 1615) bukanlah karangan sendiri. Sedangkan Osman ditampilkan Orhan Pamuk dalam novelnya yang berjudul Yeni Hayat atau The New Life. Menengok pada kehidupan Pamuk secara pribadi, dari usia 18 tahun, dia seminggu sekali terbiasa pergi ke Sahalfar, pasar buku-buku tua di Beyazit. Di sana dia akan masuk ke sebuah toko buku yang menjual buku-buku bekas, menyisir semua rak, mem­balik-balik buku, membeli buku dengan ke­yakinan bahwa tentu setidaknya ada sedikit Tur­ki di dalam buku-buku itu. Ketelatenan dan keasyikan Pamuk untuk menemukan Turki di balik buku-buku itu setidaknya menjadi inves­tasi yang mumpuni di kemudian hari bagi pro­fesinya sebagai seorang penulis yang me­ngan­­tarnya meraih penghargaan Nobel Sastra 2006.

Di luar sisi realitas maupun imajiner yang mengiringi kisah dua buku itu, bila kita khidmati lebih lanjut, dua kisah dalam buku itu menyampaikan suatu misal yang memaparkan beberapa hal: tentang penulis yang ditilap dan dimenangkan sejarah, tentang pengaruh tiap-tiap buku yang memiliki kesan tersendiri bagi pembacanya. Singkatnya, sebuah narasi tentang takdir buku sebelum dan setelah dibaca.

Dari misal itulah, kita menjadi tahu, buku-buku dalam toko buku loak -yang acapkali berada dalam lokasi pinggiran/terpinggirkan, ditumpuk bercampur baur dan tanpa disusun dengan pelabelan semacam buku best seller atau buku terbaru- tak berarti ikut terpinggirkan dan berkurang potensinya untuk tetap menyuarakan upaya-upaya dari sikap kritis dan dialogis penulis. Malah, tiap calon pembaca memiliki kebebasan untuk menyeleksi, memilah sebelum memilih buku yang akan dibacanya berdasar kebutuhan dirinya di luar pengaruh dari penandaan akibat pelabelan yang acapkali menilapkan potensi sebuah buku. Belum lagi, transaksi penawaran yang luwes dapat menjadi modal serta bekal utama calon pembaca untuk mendapatkan buku dengan harga yang murah.

Pola transaksi buku seperti dalam toko buku loak itu saya kira penting untuk tetap ada. Mengingat, tak banyak usaha di negeri ini yang berkaitan dengan produksi dan penyebaran buku didukung oleh dana-dana publik. Bahkan, kondisi perpustakaan kota atau perpustakaan universitas yang tersebar di berbagai daerah sering tak dapat dianggap layak dan desa seakan diabaikan sebagai ruang menyimpan bacaan. Buku di toko loak itu, dalam kaitannya dengan keadaan perbukuan dewasa ini, menjadi patut untuk diperhatikan dalam upaya menumbuhkan tradisi membaca. Sebab, dalam ruang produksi buku yang telah terkapitalisasi, kita tahu bahwa tidak semua golongan/lapisan masyarakat punya kesempatan yang sama untuk dapat membaca. Maka, dapat ditarik asumsi sederhana bahwa dalam dunia perbukuan dewasa ini sudah sejak dini terdapat semacam proses seleksi sosial.

Dalam kondisi seperti itu, buku yang menyimpan sebuah realitas sejarah yang tentu memuat gambaran kondisi sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan sebuah bangsa serta memuat upaya penulis untuk melibatkan aktualisasi kognitifnya terhadap masalah-masalah sosialnya, cita-cita dan perjuangannya, dan meletakkan nasib sendiri sebagai bagian dari nasib besar masyarakat pada sebuah masa menjadi rawan untuk tak terbaca. Oleh sebab itu, kisah dua buku yang tergeletak di toko buku loak itu patut untuk kita khidmati kembali. Setidaknya keduanya telah menjadi bukti yang sahih untuk menyatakan bahwa di balik buku akan selalu tersimpan sebuah jendela bagi kita untuk melihat, mengenal, dan menelaah sebuah dunia dari suatu masa. Buku-buku yang tergeletak di toko buku loak -seusang apa pun dan ditumpuk-tumpuk semacam apa pun- tetap menyimpan potensi untuk mewartakan kepada kita bahwa buku dan dunia selalu dalam proses menjadi dan mungkin tak kunjung usai yang jejaknya acapkali kita pelajari sebagai mozaik sejarah yang penting untuk dibaca. (*)

*) Abdul Aziz Rasjid, peneliti Beranda Budaya, tinggal di Purwokerto
Sumber www.jawapos.co.id