Pages - Menu

17 Desember 2009

Harry Potter & Budaya Baca Kita

Oleh: Taufiq Ismail

Sastrawan dan Budayawan

Melalui seorang kawan yang membaca berita di internet, saya diberitahu tentang suatu peristiwa ''Gila-gilaan Harry Potter'' atau ''Harry Potter Mania'' di Amerika Serikat. Harry Potter adalah sebuah serial karangan JK Rowling, wanita penulis yang jadi kaya-raya berkat serialnya itu.

''Gila-gilaan'' atau ''mania'' itu menunjukkan antusiasme pembaca yang luar biasa pada karya itu. Pada suatu Sabtu malam (8 Juli 2000) puluhan ribu anak-anak, remaja dan orang tua antri di toko-toko buku di seluruh negara bagian AS untuk membeli serial ke-4, terbaru, buku karya Rowling, Harry Potter and the Goblet of Fire (HPGF). Tiga buku Rowling sebelumnya adalah Harry Potter and the Sorcerer's Stone, Harry Potter and the Chamber of Secrets, dan Harry Potter and the Prisoner of Azbakan.

Tiga judul buku tersebut, menurut berita tadi, telah terjual lebih dari 2 juta kopi di AS saja. Rowling tentu saja jadi bahan pembicaraan publik. Diskusi tentang dia dan karyanya ramai dihadiri pembacanya. Situs-situs Potter dibangun oleh fanatikus Potter. Belum lama ini Rowling menerima International Public Relations Association (IPRA) President's Award, sehingga dia kini sejajar dengan tokoh Burma Aung San Suu Kyi, Uskup Desmond Tutu dll penerima anugerah presiden IPRA itu.

Buku terbaru Rowling itu, menurut berita tadi, di toko-toko buku New York di tengah malam 8 Juli tersebut, dalam waktu satu jam berhasil terjual 114.000 buku. Beberapa waktu sebelum HPGF diedarkan, toko buku Barnes and Noble dan toko online-nya telah mencatat 360.000 pesanan. Paling kurang 9.000 truk Federal Express dikerahkan ke seluruh penjuru negeri melalui jaringan ritel raksasa Amazon.com untuk membantu menyebarkan 250.000 kopi HPGF yang dipesan peminat. Buku ini dikabarkan dicetak 3,8 juta kopi pada tahap pertama dan di tahap kedua (bulan itu juga) dicetak 2 juta lagi.

Sebagai pembaca buku, terutama buku-buku Islam, saya cemburu berat terhadap fenomena di atas. Bila dibandingkan dengan dunia perbukuan kita, khususnya buku-buku Islam, perbandingan itu bagaikan awan dan dasar sumur. Di Indonesia, ada buku Islam yang termasuk paling laris berjudul Berjumpa Allah Melalui Shalat terjemahan karya Mutawali Sya'rawi terbitan Gema Insani Press, Jakarta, yang terjual 120.000 kopi dalam waktu 10 tahun. Sebagai perbandingan, buku Rowling HPGF perlu waktu satu jam untuk mencapai angka penjualan sekitar itu.

Tapi, lama-lama saya menghentikan kecemburuan saya. Banyak faktor yang yang menyebabkan buku kurang atau tidak dibeli orang Indonesia. Anak muda Indonesia terpelajar yang masih mahasiswa dan rokok kreteknya mengepul-ngepul dan kaset musik hard rocknya berdentam-dentam, selalu mengeluh mengatakan buku mahal. Orang Indonesia terpelajar yang sudah bekerja dan punya sumber nafkah yang layak, lebih suka mengoleksi VCD, parfum dan aksesori mobil ketimbang mengoleksi buku. Minat baca masyarakat yang rendah ini tidak berdiri sendiri, tapi berjalin-berkelindan dengan masalah sosial lain yang berbagai-bagai.

Akar masalah yang paling dalam adalah sangat kurang ditanamkannya budaya baca buku di sekolah-sekolah kita, sejak SD, SLTP, sampai SLTA. Di sejumlah negara --kecuali Indonesia-- berlaku ketentuan wajib baca buku sastra bagi siswa sekolah menengah. Buku-buku itu tersedia di perpustakaan sekolah, siswa selain harus membaca, juga wajib menulis mengenainya. Hasil dari proses membaca itu kemudian diuji di kelas (lihat tabel).

Sebagai pembaca, saya tidak tahu banyak tentang buku apa, atau dari jenis mana, yang paling bagus sekarang ini. Tapi, kalau saya perhatikan rubrik resensi buku di surat-surat kabar dan majalah, saya merasa senang karena buku-buku Islam termasuk yang paling banyak diulas. Sayangnya, sejauh pengamatan saya, ulasan buku di media massa sekarang ini umumnya bersifat deskriptif saja, mengutip di sana-sini bagian buku yang dianggap penting kemudian ditutup dengan pujian bahwa buku ini layak dibaca. Begitu saja.

Sebaiknya media massa menyediakan ruangannya untuk memperkenalkan buku tidak sekedar informasi saja, melainkan juga ulasan yang agak mendalam, sehingga kita jadi lebih yakin untuk membelinya. Ada kawan-kawan yang terdorong membeli buku yang sesudah dibaca, ternyata kurang bermutu, bahasanya tidak disunting rapi-rapi, padahal dalam ulasan di media dikabarkan bagus. Pada saat ini cukup banyak media massa Islam, seperti Republika, Pelita, Panji Masyarakat, Suara Hidayatullah, Media Da'wah, Sabili dan lain-lain, tapi rasanya agak sulit untuk mendapatkan ulasan yang lengkap mengenai buku-buku Islam.

Selain itu, kehadiran resensi buku tidak selalu cepat, seringkali terlambat. Ada buku yang terbit di bulan Juni tahun lalu, misalnya, baru muncul resensinya Februari tahun ini. Berarti ada kekosongan waktu 8 bulan untuk mengetahui sebuah buku baru dari ulasan di media massa. Artinya, bagi mereka yang kurang rajin berkunjung ke toko buku, tidak akan tahu ada buku-buku baru.

Dugaan saya naskah resensi itu antre di meja redaksi sehingga harus menunggu waktu berbulan-bulan, karena memang harian biasanya hanya menyediakan ruang resensi pada edisi hari Ahad. Kalau demikian adanya, kebijakan media massa untuk hanya menyediakan rubrik resensi pada edisi Minggu, menurut hemat saya, perlu ditambah. Kompas kadang-kadang memuat resensi buku pada hari Senin atau Jumat, selain edisi Minggu, dan kebijakan ini patut dipuji.

Saya kira bukan ide jelek apabila ada media massa membuat semacam daftar buku-buku terbit terbaru, daftar buku-buku laris, lalu wartawannya mengulas secara komprehensif atas buku-buku itu. Kalau pun tidak diulas, tidak apalah, asal daftar buku baru terbit itu dimuat. Panduan semacam ini bagi peminat buku, perlu.

Di sisi lain, saya lihat cuma penerbit-penerbit besar saja yang mampu membayar ruang iklan penerbitan barunya. Kebanyakan penerbit tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi begini para penerbit hanya mengandalkan para peresensi. Tentu, baik sekali pihak penerbit memberikan pula penghargaan yang pantas untuk penulis resensi ini, di samping penulis resensi sudah menerima honorarium dari media massa.

Saya juga memperhatikan penerbitan buku Islam dewasa ini sedang digandrungi. Display buku-buku Islam di toko-toko baru besar menempati posisi yang cukup menonjol. Penerbitan buku Islam saat ini bukan hanya monopoli penerbit Islam, tapi juga penerbit umum, seperti Gramedia, dll. Beberapa pengarang Islam tidak enggan bukunya diterbitkan penerbit bukan Islam.

Misalnya, kumpulan karangan Syu'bah Asa berjudul Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik diterbitkan Gramedia (2000), dan buku AM Fatwa Kebebasan Beragama Diadili juga diterbitkan penerbit serupa (2000). Apakah pemahaman terhadap Islam dan informasi keislaman di Indonesia saat ini tengah mengalami pergeseran? Ini tentu memerlukan riset lebih dalam. Yang kita rasakan saat ini adalah baru tahap permulaan, di mana minat terhadap buku Islam -- membaca dan menerbitkannya -- mulai terlihat menanjak.

Di bulan Ramadhan ada juga stasiun televisi yang mau mengulas buku Islam. Stasiun Indosiar misalnya di bulan puasa pernah menayangkan acara bedah buku karangan Prof Dr Dawam Rahardjo berjudul Ensiklopedi Al-Quran terbitan Pramadina. Tapi saya tidak yakin acara itu ditonton orang karena ditayangkan jam 2 pagi, meskipun bulan puasa. Sebenarnya acara semacam itu sangat bagus untuk diteruskan, tapi memang apa yang dapat diharapkan dari dunia televisi kita yang eksistensinya ditentukan oleh ekonomi kapitalistik yang menghitung laba-rugi secara sangat lugas.

Acara pembicaraan buku, apapun jenisnya, termasuk buku Islam dan sastra, praktis tidak ada di medium yang luarbiasa ampuhnya itu. Di tahun 1950-an dan 1960-an, program Mutu Ilmu dan Seni RRI Ibukota, yang diselenggarakan Wiratmo Soekito, Anas Ma'ruf, Tuti Aditama dan Husseyn Umar, membahas pula buku-buku baru terbit dengan sangat terpelajar. Ini yang tidak kita lihat lagi di media elektronik ini.

Makalah disajikan untuk Yayasan Pustaka Umat pada Silaturahmi Nasional Penerbit dan Penulis Muslim [14/2]

Jumlah buku sastra yang wajib dibaca siswa SMU di sejumlah negara

1. SMU Singapura 6 judul

2. SMU Malaysia 6 judul

3. SMU Thailand Selatan 5 judul

4. SMU Brunei Darussalam 7 judul

5. SMU Jepang 15 judul

6. SMU Kanada 13 judul

7. SMU Amerika Serikat 32 judul

8. SMU Jerman 22 judul

9. SMU International, Swiss 15 judul

10. SMU Rusia 12 judul

11. SMU Prancis 20-30 judul

12. SMU Belanda 30 judul

13. AMS Hindia Belanda 25 judul

14. SMU Indonesia 0 judul

Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMU responden (bukan nasional), dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi, sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra yang dibaca cuma ringkasannya, dan siswa tak menulis mengenainya, dan tidak diujikan, dianggap nol.

* Taufiq Ismail, Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis? 1998).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar