Indonesia kekinian mencatatkan fakta banyaknya persoalan kebijakan yang mengabaikan aspirasi publik. Masih munculnya kebijakan-kebijakan pemerintahan di era reformasi yang mengintervensi wilayah privat masyarakat kita -seperti yang tampak dalam kasus perda-perda syariat di beberapa daerah, RUU APP, larangan terhadap Ahmadiyah- menunjukkan betapa mendesaknya studi mengenai pengambilan kebijakan publik secara deliberatif agar negara tak terjebak dalam godaan politik identitas yang menindas minoritas dan pluralitas.
Nah, F. Budi Hardiman menulis buku ini sengaja diikhtiarkan untuk menguraikannya. Tentu saja, penulisan uraiannya tidak jauh dari kapasitas keilmuannnya sebagai pengkaji yang tekun dan berbobot atas pemikiran filsuf sekaligus sosiolog berpengaruh asal Universitas Frankfurt (Jerman), Jurgen Habermas. Ya, buku Demokrasi Deliberatif: Menimbang ''Negara Hukum'' dan ''Ruang Publik'' dalam Teori Diskursus Habermas ini persisnya ingin menaruh rumusan: teori diskursus Habermas relevan untuk dipedomani masyarakat Indonesia yang belum juga mamantapkan diri dalam fitrahnya sebagai komunitas majemuk.
Sebelum membukukan karya penelitiannya ini, F. Budi Hardiman telah menerbitkan dua kajian (buku) lain tentang teori kritis Habermas. Pertama, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (1991). Buku tersebut memusatkan perhatian pada: (1) tradisi pemikiran neo-Marxis yang melatarbelakangi teori kritis Habermas, serta (2) karya awal Habermas pada 1970-an tentang filsafat pengetahuan. Kedua, Menuju Masyarakat Komunikatif (1993). Buku yang kedua ini memusatkan diri pada karya-karya Habermas sepanjang periode 1970-an dan 1980-an. Kedua buku tersebut dapat dianggap sebagai pengantar ke alam pemikiran diskursif Habermas yang menjadi fokus telaah buku ini.
F. Budi Hardiman, yang sudah mempelajari pemikiran Jurgen Habermas sejak 1990-an, kali ini benar-benar terpikat pada buku monumental Habermas yang berjudul Faktizitat ung Geltung (Fakta dan Kesahihan) (1992). Menurutnya, para kritikus Habermas telah salah menuduh bahwa Hebermas tidak lagi melancarkan ''kritik atas kapitalisme'' sebagaimana dilakukan secara progresif oleh para pendahulu sekaligus generasi pertama teori kritis, seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Herbert Marcuse. Sebaliknya, dengan melampaui ''kritik atas kapitalisme'' itu, Habermas menginginkan suatu kondisi komunikatif yang paling mungkin guna membuka ruang-ruang diskusi rasional. Hal itu untuk membuka diskursus terkait persoalan publik dan kelindan proses pengambilan keputusan demokratis.
Jika dirunut ke belakang, terutama ke dalam karya-karya Habermas seperti Strukturwandel der Offentlichtkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik/1962) dan adikarya Theorie des kommunikativen Handelns (Teori Tindakan Komunikatif/1981), pendar-pendar teori diskursus Habermas sejatinya sudah banyak bertebaran. Hanya saja, dalam Faktizitat ung Geltung, Habermas lebih lugas dalam mengembangkan pemikiran tentang kontribusi teori diskursus berkaitan dengan hukum dan negara hukum demokratis. Ini yang kemudian ditandaskan Yudi Latif bahwa gagasan teori diskursus berguna bagi kita untuk membaca penyimpangan dari ideal-ideal demokrasi permusyawaratan yang tengah kita tata sekarang.
Dengan demikian, teori diskursus bukanlah pisau bedah baru dalam upaya kita mengkritisi dinamika masyarakat modern sekarang. Bedanya dengan teori-teori klasik dari Aristoteles, Hegel, atau Karl Marx, semisal; teori diskursus tak bernafsu untuk membongkar narasi besar ''tujuan masyarakat''. Akan tetapi, yang ingin ditunjukkan lewat teori diskursus adalah ''cara'' atau ''prosedur'' untuk mencapai tujuan tersebut. ''Tujuan'' itu sendiri pada gilirannya harus disepakati bersama sesuai ketaatan prosedur komunikasi yang tepat. Jadi, disimpulkan F. Budi Hardiman, teori diskursus Habermas secara radikal berorientasi pada ''rasio prosedural''.
Contoh yang relatif sederhana untuk mengilustrasikan raibnya ''rasio prosedural'' itu adalah dari cara-cara penyelesaian konflik dewasa ini. Kita bisa mencermati mulai dari tegangan antarkelompok agama, permusuhan antarsuku, kecemburuan sosial karena kesenjangan ekonomi, dan sebagainya. Pada titik ini, ketika politik dimengerti sebagai ''kuasa-menguasai'' belaka, situasi-kondisi yang kurang stabil tersebut tentulah harus ''ditenangkan'' lewat persuasi, depolitisasi warga negara (seperti kebijakan floating mass pada era Orde Baru), atau bila perlu lewat intimidasi, kekerasan, dan paksaan. Nah, dari situ sejatinya sangat tampak sirkulasi kekuasaan dan resolusi konflik yang nyaris tanpa peran aktif warga negara.
Menanggapi semua itu, sedari awal dengan tegas terbaca dari judul buku, F. Budi Hardiman menawarkan model ''demokrasi deliberatif'' sebagai formula untuk membuka ruang-ruang publik dan kanal-kanal komunikasi dalam masyarakat kita. Memang, penerapan model demokrasi deliberatif itu tak serta-merta menuntaskan soal. Namun, dengan prinsip pemecahan persoalan yang toleran dan nirkekerasan, diharapkan praktik diskursus publik semakin inklusif dan fair. Catatan kritis di sini, demokrasi deliberatif tak hanya ''menuntut'' penyebaran hak-hak partisipasi, melainkan juga interaksi dinamis antara institusi-institusi resmi guna berkembangnya opini dan aspirasi politik yang tak terinstitusionalisasi (hal. 171).
Akhirnya, terlepas dari sifat buku ini yang ''filosofis'' sehingga bagi sebagian besar pembaca dipastikan bakal menganggapnya sebagai buku ''berat'', analisis F. Budi Hardiman kali ini sukses menggenapi dua bukunya terdahulu guna merumuskan sumbangsih pemikiran dalam konteks Indonesia kekinian. Dan lagi, tidak cukup bagi alumnus Hochschule fur Philosophie (Munchen) ini membuktikan ketajaman teori diskursus Habermas dibandingkan dengan sederet teori klasik tentang negara hukum seperti dari John Locke, Jean-Jacques Rousseau, atau Montesquieu -yang tentu saja mudah kita telusuri dari buku filsafat politik yang lain.
Lebih dari itu, istilah ''deliberasi'' itu sendiri sesungguhnya tidaklah asing menurut praktik kesadaran politik kita. Kata yang berasal dari bahasa Latin ''deliberatio'' -yang berarti ''konsultasi'' atau ''menimbang-nimbang'' itu sejatinya dalam leksikon politik kita juga sudah terpakai, bahkan secara kultural tertanam dalam kesejatian masyarakat kita, yakni ''musyawarah''. Tapi, ah! Bukankah kita terlampau sering terkaget-kaget terhadap serbuan penolakan undang-undang semisal, oleh sebab telah runtuhnya ruang kultur ''musyawarah''? Melalui buku ini, F. Budi Hardiman memaksa kita merenungkan kealpaan kolektif tersebut. (*)
*) M. Lubabun Ni'am Asshibbamal S. , Pemimpin redaksi BPPM Balairung UGM Jogjakarta
---
Judul Buku : Demokrasi Deliberatif: Menimbang ''Negara Hukum'' dan ''Ruang Publik'' dalam Teori Diskursus Habermas
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius, Jogjakarta
Edisi : Pertama, 2009
Tebal : 246 Halaman
Sumber Jawapos, 30 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar