Pages - Menu

03 Juli 2009

Ibu Kota Buku

Oleh Muhidin M. Dahlan*

Beirut, kota yang kerap dikutuk sebagai salah satu ibu kota yang paling rajin memproduksi teror dan kekerasan di kawasan samudera pasir, menjelma menjadi kota buku paling semarak di tahun ini. Ibu kota Lebanon itu terpilih sebagai ibu kota buku dunia (World Book Capital) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Program yang bernama ''a city the World Book Capital for year'' ini sudah berlangsung sejak 2001. Kota Madrid menjadi kota pembuka untuk pelaksanaan program ini. Lalu berturut-turut Alexandria (2002), New Delhi (2003), Antwerp (2004), Montreal (2005), Turin (2006), Bogotá (2007), Amsterdam (2008), dan sekarang Beirut.

Pemilihan kota itu bukan disandarkan pada sistem kompetisi, melainkan lewat mekanisme penunjukan. Untuk kepentingan itu UNESCO membentuk sebuah dewan bersama yang digandeng dari beberapa lembaga perbukuan internasional berwibawa. Di antaranya: International Publishers Association (IPA), International Booksellers Federation (IBF), dan International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA).

Dewan bersama itulah yang kemudian menggodok kota-kota yang layak dijadikan sebagai ibu kota buku saban tahun berjalan. Bahkan untuk 2010, dewan ini sudah menetapkan ibu kota buku dunia berikutnya, yakni Ljubljana (Slovenia).

Kota yang ditunjuk itulah yang mendapat kesempatan merayakan buku dengan caranya masing-masing selama setahun. Beirut sendiri, seperti dikabarkan situs resminya, menggelar di seluruh penjuru kota sekira 120 peristiwa buku.

Memang mengejutkan keterpilihan Kota Beirut. Belasan tahun kota ini menjadi panggung teater perang sipil yang menakutkan, pabrik bom mobil, dan dentum banalitas kekerasan lainnya yang tak putus-putus merundung.

Tapi bagi mereka yang memahami agak lebih dalam jiwa Beirut, akan tahu bahwa jangkar dunia sastra dan tradisi intelektual Timur Tengah pernah tertancap di batin kota ini. Menurut penulis Beirut Fragments: A Memoir--yang fragmennya pernah dimuat di New York Review of Books pada 1990, Jean Said Makdisi, kawasan Hamra yang menjadi pusat gravitasi kota tak bisa diabaikan perannya sebagai kawasan ''an almost boundless tolerance and freedom of thought''.

Sejak 23 April 2009 hingga 23 April 2010, kalimat Said Maksidi itu seperti menemukan jawabannya. Ke-120 peristiwa buku yang digelar menunjukkan bahwa Beirut adalah kota literasi yang kaya dan layak diperhitungkan. Di sana pelbagai ajang perbukuan dipertontonkan. Seperti konferensi internasional aktivis buku dan kebudayaan ihwal konflik Arab-Israel, training perpustakaan dan seminar taman bacaan, dialog audiobooks untuk kalangan buta, dunia penerjemahan Beirut, akar dan perkembangan pers, buku anak, festival puisi dan prosa, festival akbar seni rupa, patung, musik, dan seni video, dan seterusnya.

Dengan mandat keterpilihan sebagai ibu kota buku itu, pemerintahan Kota Beirut memiliki privelese mengundang para penulis dan penerbit-penerbit beken di seantero dunia, seperti para penyair Mexico dan Jerman, novelis Prancis, penerbit-penerbit dari Italia dan Mesir, desainer dan ilustrator buku dari Spanyol dan Swiss, aktivis-aktivis buku dari Belanda, toko-toko buku di kawasan serumpun seperti Aljazair, Maroko, Siria, Tunisia, dan Uni Emirat Arab.

Yang tak bisa dilupakan bahwa rahim Beirut pernah melahirkan pujangga besar dunia, Gibran Khalil Gibran, yang dalam satu putaran hidupnya telah menyumbang literasi cinta dan perdamaian yang paling menakjubkan di dunia. Pada momentum ini kemudian Gibran National Committee membuat semacam Gibran Fest dengan menampilkan wajah produksi karya-karya Gibran yang telah diterjemahkan ke hampir seluruh bahasa dunia. Termasuk salah satunya yang paling tajir penerjemahan Gibran adalah Indonesia. Saking tajirnya, karya-karya Gibran yang bersifat cinta-sufistik itu menjelma menjadi karya-karya anak remaja yang gaul abis. Tentu itu bukanlah ulah Gibran, melainkan kreasi penerbit-penerbit mini di Indonesia yang memodifikasi Gibran semau-maunya menjadi ini dan itu.

Seakan mengembalikan spirit damai yang diteaterkan karya-karya Gibran di panggung literasi dunia, pemerintah kota dibantu para aktivis buku dan kebudayaan, LSM, dan kantong-kantong kreativitas Beirut menjadikan ajang World Book Capital sebagai jawaban dari kebudayaan dan dunia buku atas konfrontasi yang tiada akhir antara Arab-Israel. Usaha ini sekaligus meneguhkan kredo bahwa buku bisa menyatukan dan mengukuhkan keragaman, sementara politik rasialisme memisahkan, mempertajam gap keragaman, dan mengobarkan perang.

Untuk perayaan keragaman itu pemerintahan Kota Beirut memiliki privelese mengundang para penulis dan penerbit-penerbit beken di seantero dunia, seperti para penyair Mexico dan Jerman, novelis Prancis, penerbit-penerbit dari Italia dan Mesir, desainer dan ilustrator buku dari Spanyol dan Swiss, aktivis-aktivis buku dari Belanda, toko-toko buku di kawasan serumpun seperti Aljazair, Maroko, Syria, Tunisia, dan Uni Emirat Arab.

Dan Beirut pun berpesta dan menari mabuk dengan buku sepanjang tahun. Di posisi ini, Unesco, sebagai jangkar gagasan, telah menjembatani jalan toleransi lewat dunia buku di tanah lahirnya para nabi monoteistik yang terus-menerus sangsai di ujung teror.

Di atas semua itu, program ini bisa juga kita baca sebagai ikhtiar membangkitkan kehangatan tradisi sebuah kota, merangsang daya intelegensi dan kreativitas, dan memberi identitas baru pada sebuah kota di mana identitas itu dirayakan, dijaga, dan dipundaki secara kolektif oleh seluruh eksponen warganya.

Di Indonesia, pemberian identitas atas sebuah kota bukan soal asing lagi. Umumnya yang cukup terkenal mengidentifikasi kota dengan makanannya (Kota Gudeg/Jogjakarta, Kota Tahu/Kediri, Kota Pecel/Madiun), dengan alam geografisnya (Kota Seribu Satu Gua/Pacitan, Kota Jati/Blora), keseniannya (Bumi Reog/Ponorogo), agama dan pendidikan (Kota Serambi Mekkah/Aceh, Kota pelajar/Jogjakarta dan Malang), naskah kuna (Tambo Minang/Padang, Bukittinggi; La Galigo/Makassar; Negarakrtagama/Mojokerto, Babad Tanah Djawi/Solo-Jogjakarta; Perang Syabil/Aceh; Hikayat Hang Tuah/Riau; Hikayat Banjar/Banjarmasin), dan seterusnya.

Dalam konteks ini, barangkali penting bagi para pemangku dunia perbukuan dan kebudayaan dengan bekerja sama dengan pemerintah kota setempat memikirkan kembali bagaimana memberikan denyut kota dengan buku secara bergiliran setiap tahun dengan menjadikannya sebagai ibu kota buku.

Modal yang kita punyai sebetulnya sudah cukup. Setiap tahun banyak sekali aktivitas perbukuan yang digelar oleh banyak kota. Sebut saja Book Fair yang sudah dilakukan secara reguler di Jakarta, Jogjakarta, dan beberapa kota lainnya. Beberapa festival juga saban tahun dilakukan, misalnya Ubud Writers & Reader Festival, kompetisi Khatulistiwa Award, penghargaan Prosa Terbaik Dewan Kesenian Jakarta, bienalle-bienalle seni rupa, festival-festival film (JIFFEST, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, FFI, Festival Film Bandung), festival perpustakaan dengan menganugerahi perpustakaan publik terbaik yang dilakukan Perpustakaan Nasional. \

Ada juga pertemuan tahunan komunitas-komunitas buku (komunitas blog buku, penerjemah, editor, penulis, penyair, cerpenis, asosiasi penerbit independen, peresensi, dongeng Nusantara, dan sebagainya).

Sementara itu, saban tahun untuk memperingati Hari Buku Internasional (23 April) dan Buku Nasional (17 Mei) Forum Indonesia Membaca selalu merayakan semacam festival literasi selama sepurnama di mana tahun ini dipusatkan di Gedung Bank Mandiri di Kota Tua Jakarta Kota.

Nah, saatnya kini untuk mengambil sebuah langkah berani mencetuskan program perbukuan baru yang massif dalam program dan terencana-satu dalam jaringan. Selain memberi denyut baru pada sebuah kota, mandat ''Ibu kota Buku'' ini memberikan privelese kepada pemerintah dan warga di sebuah kota yang terpilih untuk memanggil para penggiat dunia buku, literasi, kesenian, dan industri-industri kreatif lainnya untuk menyelenggarakan aktivitas tahunannya dalam satu kota secara bersama-sama.

Barangkali, ini salah satu cara kita menghidup-hidupkan nyala tahunan sebuah kota dengan buku. (*)

*) Muhidin M Dahlan, kerani di Indonesia Buku [I:BOEKOE]. Berdiam di Jogjakarta
Sumber www.jawapos.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar