Pages - Menu

18 Februari 2009

Puisi dan Batin Kebudayaan

Kamus, tata bahasa, mesin cetak, telepon, dan internet memperpesat pergaulan dan perkembangan kebudayaan modern. Pada masa lampau, jarak geografis dan perbedaan bahasa menjadi kendala interaksi antarmanusia dan kebudayaannya, tapi kemajuan peradaban membuat bentangan jarak geografis bisa disambungkan oleh teknologi komunikasi dan hambatan perbedaan bahasa dapat dijembatani oleh penerjemahan. Teknologi komunikasi memungkinkan dan mempercepat interaksi; dan penerjemahan membuka cakrawala pengetahuan antarmanusia dan kebudayaannya --buku ini salah satu contohnya.

Penerbitan buku multibahasa Antologia de Poeticas (Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, dan Malaysia) ini merupakan keluhuran yang melantari tiga bangsa dan kebudayaannya berhimpun dalam sebuah buku. Buku ini bermakna bagi perjumpaan dan pemahaman antarbangsa dan kebudayaannya, bahkan memungkinkan persuaan antarbatin manusia lantaran watak puisi menyibak dan menyembulkan kedalaman dan keintiman perasaan manusia, dan melalui puisi (meminjam puisi penyair Portugal Alexandre O Neil) membuat ''kata-kata mencium kita seakan bermulut''.

Indonesia dan Malaysia punya banyak persamaan kebudayaan, kedekatan geografis, dan pada masa silam pernah bersentuhan secara mendalam dengan bangsa Portugis. Karenanya puisi-puisi tiga bangsa ini bisa punya beban tak ringan. Sebab Indonesia dan Malaysia pernah dijajah oleh Portugis, Indonesia pernah berkonfrontasi dengan Malaysia, dan hubungan diplomatik Indonesia-Portugis pernah putus lantaran kasus Timor-Timur, sehingga puisi-puisi dalam buku ini bisa ''diperankan'' tak semata sebagai karya sastra dan representasi khazanah kesastraan masing-masing, tapi juga medium diplomasi kultural-politik.

Puisi-puisi dalam buku ini bisa dijadikan bahan representasi kesastraan bangsa-bangsa itu dan menjadi referensi budaya untuk saling bergaul, mengetahui, serta memahami. Kecermatan representasi itu akan turut membentuk kecermatan pergaulan, pengetahuan, dan pemahaman kesastraan dan kebudayaan antar-bangsa-bangsa itu.

Dalam buku ini representasi mengenai perpuisian Portugis menampilkan karya 50 nama penyair dari Raja Dinis (lahir pada 1265) hingga Jose Luis Poixoto (lahir pada 1974). Representasi mengenai perpuisian Indonesia menyebutkan 52 nama penyair sejak Hamzah Fansuri (hidup pada abad ke-16) sampai masa Marhalim Zaini (lahir pada 1976). Sedangkan representasi mengenai perpuisian Malaysai membubuhkan 16 nama penyair dari A. Samad Said (lahir pada 1925) hingga Rahimidin Zahari (disebut dalam biodatanya sebagai budayawan muda Malaysia, tanpa keterangan tahun lahir). Jumlah nama penyair dan rentang generasi para penyair bukan jaminan kelengkapan representasi perpuisian maupun ukuran mutunya. Peta perpuisian adalah jejak estetika, bukan cuma deretan nama-nama penyair.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian Portugis oleh Maria Emilia Irmler dan Danny Susanto menyebutkan nama-nama penyair Portugis beserta detail estetika perpuisian mereka sehingga peta perpuisian Portugis tampil relevan, esensial, dan meyakinkan. Melalui introduksi dan pembahasan itu lanskap historis dan perkembangan perpuisian Portugis memberikan informasi yang bisa membangun pengetahuan dan pemahaman mendalam dan berharga tentang perpuisian Portugis masa lampau dan kini.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian Indonesia oleh Maman S. Mahayana di sana-sini menyentuh perkara estetika, tapi masih berbaur dengan menimbang representasi etnisitas atau kultural penyair. Dan urusan representasi etnisitas dan kultural itu pun dijalankan dengan ketakkonsistenan, misalnya tak melibatkan puisi Mardi Luhung dan puisi Goenawan Mohamad yang mewakili kultur pesisiran, puisi Tan Lioe Ie yang menjadi representasi kultur Cina Peranakan, dan puisi Remy Silado yang menawarkan budaya pop dalam puisi Indonesia.

Goenawan Mohamad dan Remy Silado juga nama penting dalam perjalanan estetika perpuisian Indonesia. Melewatkan nama-nama itu berarti tak sekadar tak menghadirkan nama mereka, melainkan juga mengurangi bagian penting kelengkapan representasi budaya dan estetika perpuisian Indonesia.

Sedangkan introduksi (dan tanpa pembahasan) mengenai perpuisian Malaysia oleh Jamian Mohamad dan Maria Cristiana Casimiro memberikan informasi yang terlalu ringan dan minim untuk buku sepenting ini.

Introduksi dan pembahasan mengenai perpuisian itu merupakan bentuk pertanggungjawaban menghadirkan buku ini ke khalayak. Puisi memang bisa berbicara sendiri, tapi bila introduksi dan pembahasan yang menyertai puisi punya kekurangan di sana-sini malah akan membebani puisi dan merusak atensi khalayak.

Keluhuran yang bisa diemban buku semacam ini tak mudah meraihnya. Selain urusan representasi, introduksi, dan pembahasan mengenai perpuisian tiga bangsa itu, faktor penerjemahan juga merupakan perkara penting yang menentukan mutu atau keberhasilan kehadiran buku ini. Perbedaan bahasa bisa diatasi oleh penerjemahan, tapi hakikat puisi bukan sebatas bahasa (kata, gramatika, dan semantika). Puisi punya nuansa dan gaya khas serta kerap mengandung makna samar dan pelik.

Menerjemahkan puisi adalah menerjemahkan bahasa sekaligus batin kebudayaan yang membentuk atau melatarinya. Menerjemahkan puisi butuh kecakapan dan juga keberanian. Kekhawatiran yang timbul dalam penerjemahan puisi merupakan perkara klise dan klasik. Penyertaan puisi dalam bahasa aslinya dalam buku ini menjadi ''solusi'' yang bisa meminimalkan risiko penerjemahan.

Buku semacam ini bisa menggaulkan sebuah tradisi puisi dalam lingkungan yang lebih luas atau mendunia serta menjadi ajang yang memungkinkan untuk bisa saling-belajar. Ketertutupan sebuah tradisi puisi di tengah khazanah-khazanah perpuisian dunia bisa dibuka melalui penerjemahan, sebagaimana pandangan Jose Saramago bahwa ''Sastrawan dengan bahasanya menciptakan sastra nasional. Sastra dunia diciptakan oleh penerjemah.'' (*)

*) Binhad Nurrohmat, penyair tinggal di Jakarta

Judul Buku: Antologia de Poeticas

(Kumpulan Puisi Indonesia, Portugal, Malaysia)

Penyusun: Maria Emilia Irmler dan Danny Susanto

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cetakan: Pertama, 2008

Tebal: 424 halaman
Sumber Jawa Pos, 8 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar