Pages - Menu

20 November 2008

PAUD Berbasis Perpustakaan

Oleh Romi Febriyanto Saputro

Tulisan ini telah dimuat di Majalah Media Pustaka, Edisi 8/ Desember 2006

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan kunci utama sukses tidaknya sebuah program pendidikan nasional suatu bangsa. Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan.
Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak. Dosis rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu melipatgandakan kemampuan otak 5 – 10 kali kemampuan sebelumnya.


Ironisnya, pemerintah kita terhitung terlambat dalam memberikan perhatian kepada anak usia dini. Mereka dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam kondisi “ala kadarnya”. Sampai saat ini diperkirakan 80 persen anak usia dini belum tersentuh PAUD. Tatkala anak usia dini di Singapura sudah terjangkau semuanya dengan PAUD, anak usia dini di Indonesia masih dibayang-bayangi oleh ancaman gizi buruk.
Data tahun 2002 menunjukkan 1,3 juta anak Indonesia mengalami kekurangan gizi. Padahal menurut Azrul Anwar (2002) setiap anak dengan gizi buruk beresiko kehilangan IQ hingga 10 – 13 poin. Ini berarti bangsa kita beresiko kehilangan IQ sekitar 22 juta poin.
Secara kualitas maupun kuantitas PAUD masih belum bisa berjalan sesuai dengan harapan. PAUD yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal seperti Taman Kanak-Kanan dan sejenisnya hanya bisa diakses oleh golongan menengah ke atas. Masyarakat menengah ke bawah lebih suka langsung menyekolahkan anaknya ke jenjang Sekolah Dasar untuk menghemat biaya. Bagi masyarakat lapisan ini masih bisa titip anak ke Taman Pendidikan Al Quran di Masjid sudah merasa “legaaa”.
Yang memprihatinkan saat ini muncul gejala komersialisasi pendidikan anak usia dini dengan menjamurnya TK “unggulan dan terpadu”. Bagi masyarakat “pas-pasan” jangan harap bisa menyekolahkan anaknya di TK “unggulan dan terpadu” ini. Di kota kecil saja sudah berkisar 2 jutaan, di kota sedang seperti Solo berkisar 5 jutaan, dan di kota besar seperti Jakarta konon mencapai angka 10 jutaan atau mungkin bisa lebih.
Selain gejala komersialisasi, pendidikan anak usia dini juga diwarnai oleh pembebanan yang “overdosis” terhadap anak. Anak usia dini memperoleh perlakuan yang sama dengan anak usia sekolah dasar. Pembelajaran terlalu fokus pada kemampuan baca, tulis, dan hitung. Orang tua dan guru akan senang sekali jika balita maupun batitanya sudah lancar membaca dan menulis. Sebaliknya akan merasa gundah jika balita dan batitanya belum lancar membaca dan menulis.
Salah kaprah ini terus berlanjut ketika sang anak harus mengikuti tes/ujian masuk SD (Sekolah Dasar). Cukup banyak SD favorit yang menyaring calon siswa dengan menguji kemampuan baca-tulisnya. Seolah hendak mengatakan bahwa syarat masuk SD tersebut adalah sudah lancar baca-tulis. Sehingga guru SD Klas 1 nanti tak perlu repot-repot mengajari peserta didik baca dan tulis. Padahal orang tua menyekolahkan anak ke SD adalah supaya anaknya diajari baca dan tulis.
Dunia anak adalah dunia bermain. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) harus bertitik tolak dari kaidah ini. Pembelajaran anak usia dini harus dibedakan dengan pembelajaran anak usia sekolah dasar. Nuansa bermain tak boleh hilang dari model pembelajaran anak usia dini.
Pembebanan yang berlebihan justru akan berakibat kontaproduktif bagi perkembangan sang anak. Anak bisa menjadi trauma dengan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, pembelajaran pada anak usia dini mestinya lebih bersifat memberi rangsangan pada anak agar tumbuh minatnya dalam membaca, menulis, dan berhitung. Fauzil Adhim (2006) menyebutnya dengan “semangati jangan bebani”.
PAUD Berbasis Perpustakaan
Perpustakaan dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan akses anak usia dini terhadap PAUD. Perpustakaan umum kabupaten/kota dapat membuka layanan khusus anak. Layanan anak ini diberi ruang tersendiri yang terpisah dengan layanan remaja dan dewasa. Layanan anak ini sangat relevan jika dikaitkan dengan visi dan misi perpustakaan yaitu meningkatkan minat baca masyarakat. Membuka layanan anak berarti merupakan upaya untuk menumbuhkan minat baca sejak usia dini.
Ruang layanan anak dapat disulap menjadi dunia yang layak bagi anak-anak. Dunia, di mana semua anak memiliki peluang cukup besar untuk mengembangkan kapasitas individual mereka dalam lingkungan yang aman dan supportif. Dunia yang mendorong perkembangan fisik, psikologis, spiritual, sosial, emosional, kognitif dan budaya anak-anak sebagai prioritas nasional dan global.
Alat permainan edukatif dapat menjadi pilihan cerdas perpustakaan untuk membuat anak-anak betah bermain di ruang layanan anak. Penggunaan alat permainan edukatif ini memiliki manfaat, pertama, untuk membantu perkembangan emosi sosial anak. Balok bangunan, aneka macam mozaik, puzel lantai, dan papan permainan menurut para ahli sangat bermanfaat bagi anak untuk belajar menguasai emosi sosialnya.
Kedua, untuk mengembangkan kemampuan motorik halus seorang anak. Dalam hal ini dapat digunakan lilin, bikar, papan tulis, kertas, alat tulis, alat pasang memasang, kerikil, dan gunting. Penggunaan alat permaianan ini sangat penting untuk meningkatkan koordinasi antara mata dan tangan. Ini bertujuan agar anak dapat membuat garis lurus horizontal, garis lurus vertikal, garis miring kanan, garis miring kiri, garis lengkung, maupun lingkaran.
Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar seorang anak, yaitu kemampuan menggunakan otot besar. Arena mandi bola (melempar dan menagkap bola), titian bambu (meniti sambil melihat lurus ke depan), perosotan, ayunan, dan lompat tali merupakan kegiatan permainan yang dapat menggerakkan bagian-bagian tubuh dengan tangkas dan tegas.
Keempat, untuk mengembangkan kemampuan berbahasa seperti mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menyimak. Untuk meningkatkan kecerdasan berbahasa ini dapat dipergunakan kumpulan gambar binatang, gambar tumbuhan, gambar pemandangan alam, gambar panca indera, gambar anatomi tubuh, gambar huruf, gambar angka, dan cerita bergambar.
Agar anak-anak semakin menikmati perpustakaan, maka di ruang layanan anak dapat di gelar layanan mendongeng. Mendongeng merupakan tradisi lisan tertua di dunia yang hingga kini belum tergantikan oleh tayangan televisi maupun VCD sekalipun. Ada nuansa khas tersendiri dalam mendongeng, yaitu terciptanya komunikasi dua arah antara pendongeng dan anak-anak. Inilah yang tidak dapat dilakukan oleh televisi maupun VCD.
Prosesi mendongeng tak perlu disampaikan sampai tamat, cukup sampai pertengahan. Hal ini bertujuan agar sang anak yang mencari dan belajar “membaca” sendiri buku tersebut. Dengan demikian terjadilah sinergi antara tradisi lisan dan tradisi baca.
Layanan anak usia dini oleh perpustakaan ini memiliki beberapa keunggulan, pertama, bersifat gratis. Bagi masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke TK dapat memanfaatkan layanan ini.
Kedua, bersifat terbuka. Ruang layanan anak dapat diakses oleh siapapun tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, suku, ras, dan golongan. Golongan menengah ke bawah yang selama ini terpinggirkan dapat memanfaatkan ruang layananan anak ini untuk memberi kesempatan kepada batita dan balitanya bermain sambil belajar. Berekreasi di perpustakaan.
Ketiga, menumbuhkan semangat membaca sejak dini. Dengan bermain di perpustakaan anak-anak sudah diperkenalkan sejak dini bahwa perpustakaan dengan segala aktivitas di dalamnya merupakan tempat yang menyenangkan. Dalam perkembangan selanjutnya diharapkan anak tidak menganggap membaca, menulis, dan berhitung sebagai pekerjaanyang membosankan melainkan menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar