Oleh Romi Febriyanto Saputro
Tulisan ini telah dimuat di media online Kabar Indonesia, 23 Mei 2007
Pendidikan anak usia dini memiliki peran penting dalam sistem pendidikan nasional. Ibarat sebuah rumah, pendidikan usia dini merupakan pondasinya. Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan.
Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak. Dosis rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu melipatgandakan kemampuan otak 5 – 10 kali kemampuan sebelumnya.
Salah satu rangsangan yang sangat diperlukan oleh anak usia dini adalah rangsangan untuk membaca. Rangsangan untuk membaca ini bertujuan agar anak usia dini memiliki minat baca yang tinggi meskipun mereka belum bisa membaca.
Pengalaman Marcia Thomas, seorang ibu di Memphis, Tennesse, sebagaimana dikutip Fauzil Adhim (2007), membuktikan bahwa kegiatan membacakan buku pada anak usia dini terbukti mampu melesatkan kecerdasan otak anak. Marcia Thomas bercerita, “Anak kami, Jennifer, lahir pada September 1984. Salah satu hadiah yang pertama kali kami terima adalah sebuah buku The Read –Aloud Handbook. Kami membaca bab pendahuluan dan kami sangat terkesan dengan kisah Cushla dan keluarganya. Kami lalu memutuskan untuk memberi “diet” kepada anak perempuan kami dengan sekurang-kurangnya sepuluh buku sehari.
Ketika itu, dia harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama tujuh minggu karena gangguan jantung dan bedah korektif. Begitulah, kami mulai membacakan buku kepadanya saat dia masih menjalanai perawatan intensif; dan manakala kami tidak bisa menemaninya, kami meninggalkan tape berisi rekaman cerita dan meminta kepada perawat untuk menghidupkannya buat anak kami.
Usaha Marcia Thomas yang begitu bersemangat tidaklah sia-sia. Pada usia SD, anaknya selalu memperoleh nilai tertinggi untuk pelajaran membaca. Tidak ada kegemaran yang lebih disukai oleh Jennifer melebihi membaca.
Tetapi, bukan itu yang paling membahagiakan orang tuanya. Marcia Thomas menuturkan, “Apa yang membuat cerita kami berharga adalah bahwa Jennifer lahir dengan Down Syndrome. Pada usia dua bulan , Marcia diberitahu bahwa Jennifer hampir-hampir mengalami kebutaan, tuli, dan keterbelakangan mental yang parah. Ketika dites pada usia empat tahun, IQ-nya hanya III”.
Kisah di atas menunjukkan bahwa kegiatan membacakan buku pada bayi memberikan dampak positif berupa : pertama, menumbuhkan minat baca. Bayi yang sedari awal sudah diperkenalkan dengan buku akan menganggap buku “tak lebih” sekedar permainan yang mengasyikkan. Buku akan dianggap sebagai teman bermain yang menyenangkan. Kesan ini akan terekam kuat dalam memori bayi hingga masa pertumbuhan selanjutnya.
Kedua, meningkatkan kosa kata bayi. Ketika seorang ibu membacakan buku pada bayinya, sang bayi akan merasa sedang diajak bicara oleh sang ibu. Hal ini cukup penting guna merangsang kemampuan berbicara sang bayi.
Ketiga, meningkatkan hubungan kasih sayang ibu dan anak. Membacakan buku pada bayi merupakan salah satu kegiatan untuk mengakrabkan hubungan orang tua dan anak. Anak akan merasa diperhatikan oleh orang tua.
Menumbuhkan minat membaca jauh lebih penting daripada mengajarkan agar anak usia dini “bisa” membaca. Mengapa ? Karena betapa banyak anak-anak bangsa ini yang bisa membaca tetapi miskin minat baca. Ketika masih TK mereka begitu semangat dalam membaca, tetapi tatkala menginjak SD minat bacanya “surut”.
Hal ini terjadi karena adanya mal praktik dalam pendidikan anak usia dini di tanah air. Guru dan orang tua terlalu menuntut agar anak-anak agar segera dapat membaca. Setiap hari anak-anak “didrill” dengan pelajaran membaca. Akibatnya, anak-anak mengalami overdosis.
Membaca yang semula merupakan suatu keasyikan sebagaimana sebuah permainan, kini telah berubah menjadi “monster” yang menakutkan. Membaca kini telah berubah menjadi beban. Apalagi kurikulum pendidikan kita terhitung cukup padat yang membuat anak-anak kian malas untuk membaca.
Yang tejadi saat ini jutaan peserta didik di tanah air “terpaksa” membaca agar disebut “sudah belajar”. Mereka “dipaksa” membaca agar dapat lulus ujian dengan nilai yang baik.. Padahal, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghasilkan lulusan yang terus menerus membaca sepanjang hidupnya.
Belajar membaca tanpa minat baca hanya akan melahirkan robot-robot kecil yang sekedar pandai dalam membunyikan huruf. Hal ini akan berbeda hasilnya, jika anak-anak ditumbuhkan motivasi, selera, dan keinginannya untuk membaca. Proses “bisa” membaca akan tercapai dengan sendirinya seiring dengan semakin memuncaknya minat baca.
Hambatan utama untuk menumbuhkan minat baca pada anak usia dini ini adalah minimnya akses masyarakat terhadap buku. Buku masih menjadi barang mahal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Orang tua akan merasa keberatan untuk menyisihkan “jatah hidupnya” untuk membeli buku.
Perpustakaan Desa
Untuk itu, pemerintah perlu membuat kebijakan agar para orang tua dapat mengakses buku dengan mudah dan murah. Pemerintah perlu mengaktualisasikan kembali konsep perpustakaan desa. Perpustakaan desa yang sudah diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3 Tahun 2001, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan akses masyarakat menengah ke bawah terhadap layanan pendidikan anak usia dini.
Pasal 2 ayat 2 dari Kepmendagri dan Otda menyebutkan bahwa Pembentukan Perpustakaan Desa harus disepakati oleh masyarakat melalui proses musyawarah di dalam forum Lembaga Masyarakat Desa dan mengikutsertakan lembaga pendidikan yang ada. Dalam hal ini perpustakaan desa dapat membuka layanan Kelompok Bermain.
Di India, tepatnya di Negara Bagian Kerala, perpustakaan desa sukses memberantas buta huruf. Prestasi India ini sekaligus membuka cakrawala berpikir kita, bahwa perpustakaan desa tidak hanya melayankan buku, namun juga dapat dipergunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah kita dapat meniru sukses India, dengan memberdayakan perpustakaan desa untuk meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini.
Fokus layanan Kelompok Bermain (KB) ini adalah mengupayakan agar anak-anak memiliki kecintaan, ketertarikan, dan “kegilaan” kepada buku. Hal ini dalam dunia pendidikan sering disebut dengan istilah pendidikan pra membaca. Untuk mewujudkan ide ini, perpustakaan desa perlu melengkapi koleksinya dengan buku-buku anak usia dini.
Pendidikan pra membaca ini sebenarnya bisa diberikan oleh siapa saja yang memiliki kecintaan kepada dunia anak dan dunia buku. Pengajar cukup memotivasi anak-anak agar memiliki minat baca yang tinggi. Motivasi dapat diberikan melalui kegiatan bermain, bernyanyi, mendongeng, maupun membacakan buku pada anak.
Agar lebih berdayaguna, perpustakaan desa juga dapat merangkul Taman Pendidikan Al Qur ‘an (TPA) untuk mengajarkan minat baca pada anak didiknya. Minat baca perlu ditumbuhkan juga pada anak-anak yang belajar Al Qur ‘an. Agar ketika mereka membaca Al Qur ‘an sungguh-sungguh dilandasi dengan minat, ketertarikan, dan kecintaan yang kuat kepada Al Qur ‘an.
Dengan demikian anak-anak akan memiliki karakter keberagamaan yang kuat. Selama ini, TPA hanya mendidik anak-anak membaca dan menghafal Al Qur ‘an tanpa dilandasi karakter. Akibatnya, ketika mereka beranjak dewasa, Al Qur ‘an hanya menjadi bacaan yang kering tanpa makna.
Memanfaatkan perpustakaan desa untuk membuka layanan Kelompok Bermain akan membawa dampak ganda, yakni meningkatkan akses masyarakat menengah ke bawah terhadap pendidikan anak usia dini sekaligus meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini itu sendiri.
Diposkan oleh Romi Febriyanto Saputro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar