JudulBuku: The Post-American World
Penulis: Fareed Zakaria
Penerbit: New York: Norton & Company
Cetakan: 2008
Tebal: 292 halaman + index
DI tengah ekonomi dunia yang tumbuh pesat, Amerika Serikat memasuki masa-masa kritis yang akan mengakhiri supremasi ekonomi, politik, dan budaya yang lebih setengah abad disandangnya. AS bakal segera kehilangan posisi sebagai kiblat ekonomi, politik, dan budaya dunia di era globalisasi ini, menyisakan hanya sebuah supremasi militer yang tak lama lagi juga akan menjadi tidak relevan. AS sedang merosot.
Kejatuhan Lehman Brothers pada akhir September 2008 adalah tanda terbaru dari kemerosotan ekonomi AS. Sebelumnya, menyusul krisis subprime mortgage, beberapa perusahaan besar AS juga telah mengalami kebangkrutan, dan beberapa beralih ke pemilik modal Asia, misalnya Citigrup, Merril Lynch, Barclays, Morgan Stanley, dan Blakstone.
Kepemimpinan Presiden George Bush (Jr), penguasa Gedung Putih paling kontroversial, turut memberikan kontribusi penting bagi percepatan lengsernya peran global AS, membuka jalan bagi apa yang oleh Fareed Zakaria disebut sebagai Dunia Pasca Amerika (Post-American World). AS gagal dalam ekonomi global karena terlibat dalam perang dan perang, kebijakan paling menonjol dari Presiden Bush.
Fareed memang berbagi pandangan dengan banyak pengamat tentang diagnosis kemerosotan peran global AS tersebut. Kendati demikian, buku yang ditulisnya ini bukan semata menceritakan kemunduran AS, terutama pada hampir delapan tahun di bawah Bush. Buku ini, demikian Fareed menulis, lebih tentang kebangkitan negara-negara lain di luar AS.
Negara-negara lain di luar AS tersebut, yang telah banyak disebut oleh para penulis sebelumnya, adalah China dan India pada lapis pertama; Brazil, Rusia, Turki, dan Afrika Selatan pada lapis kedua; dan pada lapis ketiga terdapat Kenya dan beberapa negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sayangnya, Indonesia tidak masuk dalam deretan negara yang berjaya secara ekonomi sehingga tidak mendapatkan tempat penting dan bahasan yang memadai dalam Dunia Pasca Amerika.
Buku ini menunjukkan bahwa semua negara bisa meraih kejayaan ekonomi dan menang dalam globalisasi tanpa harus merugikan negara yang lain, bahkan dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Memang, globalisasi sendiri membuka sekaligus peluang dan perangkap. Kejayaan ekonomi negara-negara dicapai dengan sikap terbuka untuk menerima dan mempelajari bangsa lain dan, pada saat bersamaan, mengenali keunggulan diri sendiri. Hanya dengan kejayaan ekonomi maka sebuah bangsa bisa mengejar ambisi yang lain untuk berjaya di bidang politik dan budaya.
Fareed, mengutip Profesor Havard Steven Pinker, berargumentasi, ''bahwa hari ini kita barangkali hidup di masa yang paling damai dalam keberadaan spesies kita.'' (hlm. 9).
Lantas, mengapa dunia yang menurut fakta-fakta objektif sesungguhnya lebih aman tersebut justru dianggap oleh publik sebagai dunia yang lebih berbahaya, kacau, dan mengancam?
''Salah satu alasan terjadinya ketidaksesuaian (mismatch) antara realitas dan perasaan kita atas realitas tersebut barangkali karena, lebih dibandingkan dekade-dekade yang silam, kita mengalami sebuah revolusi teknologi informasi yang membawa kepada kita berita-berita dari seluruh dunia seketika, nyata, dan terus-menerus.
Kedekatan gambaran-gambaran peristiwa dan intensitas berita-berita berkesinambungan 24 jam bersama-sama telah menghasilkan hiperbola yang konstan. Setiap gangguan cuaca adalah ''badai abad ini''. Setiap bom yang meledak adalah breaking news. Sangat sulit untuk menaruh semua ini dalam konteks secara pas karena revolusi informasi demikian baru,'' tulis Fareed (hlm. 9).
Revolusi teknologi informasi mengubah pemboman yang kurang siginifikan menjadi peristiwa terorisme yang penting. Pemberitaan demikian membuat orang yang menonton televisi berpikir ''hal yang sama bisa terjadi pada saya'' setiap kali menyaksikan pemberitaan tentang tindakan terorisme atas sasaran-sasaran sipil.
Di balik pemberitaan terus-menerus oleh media massa (khususnya televisi) tentang dunia yang tidak aman dan mengancam, pergeseran yang fundamental telah berlangsung pada bidang ekonomi sebagai basis struktural tatanan global. Di seluruh penjuru dunia, ekonomi telah mengalahkan politik. Perekonomian global terus tumbuh (hlm. 18) mengabaikan kondisi dan ''risiko politik'' dalam dua dekade terakhir. Fareed menyebut pergeseran tersebut sebagai ''ekspansi ketiga ekonomi global'' dan sejauh ini yang paling dahsyat dibandingkan ekspansi-ekspansi ekonomi global pada dua peristiwa sebelumnya.
Kebangkitan Tiongkok dan India
Dua negara yang paling menonjol -dan paling banyak disebut oleh para ekonom dan pakar globalisasi- adalah dua negara Asia yang sebelumnya memiliki jumlah penduduk miskin terbesar, India dan China. Kebetulan, dua negara itu adalah pusat-pusat budaya, agama, dan ilmu pengetahuan di masa lampau. Seandainya mereka tampil menjadi pusat ekonomi, politik, dan budaya baru pasca Amerika maka keduanya memang telah memiliki akar pijakan budaya yang kuat untuk itu.
India dan China berjaya terutama berkat liberalisasi pasar, ketepatan pilihan industrialisasi, dan kepemimpinan yang baik. Dengan kombinasi ketiga kata kunci tersebut, India dan China berhasil mencapai secara konstan pertumbuhan tinggi, akumulasi kapital, pertanian berlimpah, dan penguasaan teknologi dalam beberapa tahun terakhir. China ditakuti dan disegani secara ekonomi karena negara ini juga merupakan pemborong utama perusahaan-perusahaan AS yang diambang kebangkrutan, termasuk yang disebutkan di atas.
India, sama seperti China, juga mengambil jalan liberalisasi ekonomi. Dalam konteks ini, India lebih mudah menjalaninya karena telah lama menjalani hidup sebagai negara yang demokratis, dan India bahkan tetap bertahan pada demokrasi meskipun menjalani masa-masa sulit dalam kemiskinan sejak merdeka dari Inggris pada 1947. Titik terang menuju kebangkitan ekonomi India muncul di awal 1990-an ketika India secara lebih tegas mengadopsi liberalisasi ekonomi. Sebelumnya, untuk waktu yang lama India menerapkan ekonomi semi-sosialis dan menjalin politik luar negeri yang lebih dekat dengan Uni Soviet.
Dengan berakhirnya Perang Dingin (1989) dan bubarnya Uni Soviet (1990) maka India harus mengambil jalan berbeda. Kebijakan liberalisasi ekonomi diikuti kemudian hubungan baik dengan AS dan China menjadi modal penting bagi pembangunan ekonomi India.
Sebagaimana China, industrialisasi -terutama industri teknologi informasi, komputer, elektronik, dan jasa- tumbuh pesat di India. Namun, industrialisasi India tidak hanya pada hal-hal di atas, tetapi juga industri berteknologi menengah dan tinggi. Berbeda dengan China, pemerintah India -sebagai konsekuensi dari sistem politik demokratis- tidak mengarahkan dan terlalu mencampuri proses industralisasi dan modernisasi ekonomi yang berlangsung. ''Pertumbuhan ekonomi India berlangsung bukan atas perencanaan pemerintah tetapi justru karena pembiaran. Bukan pertumbuhan dari atas (top-down) tetapi pertumbuhan dari bawah (bottom-up). Ini pertumbuhan yang tidak beraturan, kacau, dan tidak terencana,'' tulis Fareed. Kok bisa demikian?
Salah satu jawabnya, menurut Fareed, adalah apa yang biasa dikenal sebagai investasi manusia (human investment). Di masa-masa ekonomi yang sulit, terutama pada 1970-an, banyak orang India yang pandai pergi mencari penghidupan di luar negeri. Mereka yang bersekolah di luar negeri, karena merasa tidak akan mendapatkan tempat cocok di dalam negeri, bertahan untuk bekerja di luar negeri. Fenomena ini kerap disebut sebagai brain drain (konotasi yang merugikan bagi India), tetapi sebenarnya menurut Fareed yang terjadi justru brain gain (konotasi yang menguntungkan India).
Para ahli dan terpelajar India di luar negeri memainkan peran besar dalam membuka ekonomi negerinya sendiri. Mereka kembali ke India dengan uang membawa (money), gagasan investasi (investment ideas), standar global (global standard). Selain itu, dan ini yang lebih penting, fenomena tersebut telah menanamkan perasaan kebanggaan bahwa orang India bisa menguasai apa saja.
Dalam iruk-pikuk perubahan, transformasi, ekspansi, dan kejayaan yang dicapai banyak negara tersebut, lantas di mana posisi Indonesia? Tidak ada bahasan penting tentang Indonesia dalam buku ini. Kecuali beberapa sebutan merujuk pada ilustrasi atau contoh yang tidak penting. Fareed, dan tampaknya kita sendiri bisa mahfum, belum ada sumbangan atau pencapaian Indonesia yang layak untuk mendapatkan bahasan dalam buku ini. Sayang sekali memang, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara ternyata tidak mendapatkan tempat yang layak dalam Dunia Pasca Amerika.(*)
*) Endi Haryono, staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UPN Veteran Jogja
Sumber : Jawa Pos, 2 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar