Oleh Romi Febriyanto Saputro
Tulisan ini telah dimuat di Kompas Jateng, 27 Desember 2005
Sosialisasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ala Dik Doank di berbagai stasiun televisi sedikit menggelitik perhatian penulis yang bekerja di dunia perpustakaan. Dalam Iklan layanan masyarakat tersebut dijelaskan alokasi penggunaan dana BOS, pertama, buku perpustakaan. Kedua, uang ujian. Ketiga, alat tulis sekolah. Penulis sangat tertarik dengan alokasi pertama, yaitu buku perpustakaan.
Penyebutan buku perpustakaan dalam alokasi penggunaan dana BOS cukup melegakan, mengingat selama ini jarang sekali institusi pendidikan nasional menyebut-nyebut istilah perpustakaan. Seolah-olah perpustakaan bukan merupakan bagian dari pendidikan. Hal ini tampak dalam sosialisasi pendidikan sepanjang hayat dan pendidikan untuk semua, yang posternya tidak menggambarkan sedikitpun peran perpustakaan. Poster yang beredar luas di masyarakat tersebut berbunyi “ Mari Belajar Sepanjang Hayat”. Alangkah baiknya jika berbunyi “ Mari Belajar Sepanjang Hayat di Perpustakaan”.
Tidak adanya kepedulian dunia pendidikan nasional pada perpustakaan membawa imbas pada institusi di bawahnnya. Nasib perpustakaan sekolah, misalnya, tetap saja memprihatinkan. Selama ini perpustakaan sekolah mengalami marginalisasi dan diskriminasi oleh manajemen sekolah khususnya dan birokrasi pendidikan pada umumnya. Manajemen sekolah lebih tertarik kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat proyekisme, seperti pembangunan ruang kelas, kantor guru, maupun aula. Sehingga lahirlah setiap tahun yang namanya uang gedung bagi siswa baru. Sementara itu, birokrasi pendidikan di daerah lebih suka menggeluti pengadaan buku paket yang secara teknis mudah dilaksanakan, lagi pula “sangat menguntungkan”.
Harapan Baru
Keberadaan BOS memberikan setetes harapan bagi perpustakaan sekolah untuk mengembangkan diri. Keterbatasan dana yang selama ini melanda sebagian besar perpustakaan sekolah seharusnya dapat di atasi dengan adanya BOS ini. Dalam konteks pengembangan perpustakaan sekolah, BOS dialokasikan untuk, pertama, pengadaan bahan pustaka. Koleksi bahan pustaka di perpustakaan sekolah saat ini cenderung didominasi oleh buku paket dari pemerintah.
Telah terjadi salah kaprah yang cukup parah tentang perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah diidentikkan sebagai gudang buku paket belaka. Padahal urusan buku paket semestinya bukan menjadi urusan perpustakaan sekolah melainkan guru masing-masing bidang studi/kelas. Mengapa ? Karena sejatinya perpustakaan sekolah bertugas menyediakan buku – buku penunjang pelajaran yang lebih mengutamakan keragaman judul. Bukan seperti buku paket yang kaya eksemplar tetapi miskin judul. Untuk itulah perpustakaan sekolah mesti diberi energi dana agar dapat membeli buku-buku yang bermutu sebagai penajam dari buku pelajaran yang ada.
Kedua, peningkatan sumber daya manusia. Keluhan klasik perpustakaan sekolah adalah minimnya kualitas dan kuantitas petugas pengelola perpustakaan sekolah. Kepala sekolah biasanya memberikan tugas sampingan mengelola perpustakaan kepada guru bahasa Indonesia karena tidak memiliki tenaga khusus perpustakaan. Atau menjadikan perpustakaan sekolah sebagai piala bergilir, artinya pengelolaannya digilirkan pada semua guru yang ada.
Akibatnya tidak ada kesinambungan dalam membangun perpustakaan sekolah. Yang ada adalah spontanisme, temporerisme, dan daruratisme. Ketika sang guru. yang diperbantukan di perpustakaan sekolah memiliki komitmen yang tinggi terhadap perpustakaan, perpustakaan akan maju. Sebaliknya, jika sang guru apatis terhadap perpustakaan, maka perpustakaan sekolah akan kembali berjalan mundur.
Untuk mengatasi masalah ini, BOS dapat dipergunakan untuk menggaji tenaga full time untuk mengelola perpustakaan sekolah. Saat ini cukup banyak alumnus D-3 dan S-1 Ilmu Perpustakaan yang belum terserap oleh dunia kerja. Jika konsep ini berjalan, maka akan mengurangi angka pengangguran di kalangan alumnus Ilmu Perpustakaan sekaligus dapat meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah. Dengan demikian perpustakaan sekolah tidak lagi hanya menjadi urusan sampingan para guru yang sudah barang tentu sibuk mengajar.
Ketiga, pengadaan sarana dan prasarana perpustakaan sekolah yang layak. Jujur saja perpustakaan sekolah merupakan kawasan tertinggal dan menderita kekurangan gizi di lingkungan sekolah. Indikator ketertinggalan ini terlihat pada jumlah meja-kursi baca, jumlah rak buku, luas ruangan perpustakaan, dan ketiadaan komputer untuk mendukung kinerja perpustakaan. Seyogyanya BOS dapat dipergunakan untuk melengkapi sarana dan prasarana perpustakaan sekolah sehingga tampilan perpustakaan sekolah dapat lebih cantik dan menarik.
Realitas Lama
“Harapan baru realitas lama”, ungkapan ini cocok untuk melukiskan hubungan antara BOS dan perpustakaan sekolah. Keberadaan BOS yang diharapakan dapat menyuntikkan energi kehidupan bagi perpustakaan sekolah bertepuk sebelah tangan dengan kenyataan yang ada. Perpustakaan sekolah hanya mendapatkan sedikit cipratan dana BOS. Tak berbeda jauh dengan era sebelum BOS.
Ketika rekan kerja penulis sedang melaksanakan layanan perpustakaan keliling di salah satu Sekolah Dasar di Kabupaten Sragen didapat keterangan bahwa setiap bulan perpustakaan sekolah hanya mendapatkan alokasi dana sebesar Rp 100.000, 00. Alokasi dana yang diteima ini masih kalah daripada alokasi yang diterima kegiatan Pramuka dan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang masing-masing menerima Rp 200.000, 00. Padahal perpustakaan sekolah jelas memiliki ruang lingkup tugas yang lebih luas daripada kedua bidang kegiatan tersebut.
Alokasi dana sekecil itu menunjukkan bahwa manajemen sekolah masih menganut paradigma lama yang memandang sebelah mata keberadaan perpustakaan sekolah. Dana sekecil itu hanya akan menghasilkan perpustakaan sekolah yang menderita gizi buruk, perpustakaan yang sakit.
Padahal petugas pengelola perpustakaan tersebut yang juga seorang guru itu dikenal sangat militan dalam mengelola perpustakaan. Cintanya pada perpustakaan membuatnya rela membiayai pengadaan kartu buku dan anggota untuk perpustakaan sekolah. Bahkan dengan serius ia mengatakan agar kelak jika ia meninggal dunia, uang sumbangan kematiannya dipergunakan untuk membeli meja study currel. Suatu ungkapan yang merupakan reaksi terhadap aksi manajemen sekolah yang tidak berpihak kepada perpustakaan sekolah.
Jadi, problem perpustakaan sekolah sesungguhnya bukan pada ketiadaan dana, dan bukan pula ketiadaan tenaga pengelola, melainkan pada “political will” manajemen sekolah. Dapat tambahan dana BOS pun tidak dipergunakan untuk memberdayakan perpustakaan sekolah. Seandainya ada “political will” dari manajemen sekolah, dana, sarana prasarana, bahan pustaka, dan tenaga pengelola bukanlah masalah yang serius. Kunci untuk menyelesaikan semua masalah ini ada pada political will manajemen sekolah. Siapa yang mau serius memberdayakan perpustakaan sekolah, tentu akan menemukan jalan lain ke sana.
Manajemen sekolah rupanya belum menyadari bahwa lingkungan sekolah sebagai daya ungkit mengubah budaya lisan ke arah budaya tulisan atau membaca (Tilaar, 1999). Daya ungkit ini mempunyai kekuatan yang sangat besar oleh sebab dia lahir dari suatu lingkungan yang akan merangsang secara terus menerus kebutuhan dan kebiasaan untuk membaca. Apabila kebutuhan ini telah lahir kemudian dikembangkan melalui lingkungan-lingkungan yang kondusif untuk perkembangannya, maka budaya membaca akan menular ke dalam lingkungan keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar