Pages - Menu

26 November 2008

Jalan Pintas Melahirkan Buku Laris

Begitu banyak buku yang sudah dirancang sedemikian sempurna dengan memperhatikan pilihan target pembaca, cover, dan pemilihan judul, tetapi pasar tidak menyambutnya dengan baik. Begitu banyak buku bagus ternyata tidak laku. Sebaliknya banyak buku yang biasa-biasa saja isinya ternyata suskes di pasar.

Habibburrahman El Shirazy dan Andrea Hirata beserta Penerbit Republika dan Bentang tentu tidak menyangka kalau novel Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi akan menjadi best seller selama berbulan-bulan, terlepas usaha yang telah dilakukan untuk membuat kedua buku tersebut laris.



Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi kini menjadi sebuah tren baru di dunia perbukuan tanah air. Hal ini dipahami benar oleh para penerbit bahwa selera pembeli di negeri ini pastilah tidak jauh-jauh dari kedua novel itu. Maka, ketimbang repot-repot harus menciptakan selera pasar yang misteri sehingga berisiko besar untuk rugi, mendingan mengekalkan selera pasar yang sudah jelas-jelas terbongar.

Maka, kita tidak heran ketika banyak usaha ditempuh untuk mengekalkan selera pasar buku. Mulai dari pilihan tema, desain cover, judul buku, sampai nama penulis yang dibuat mirip dengan kecenderungan buku yang menjadi tren.

Buku yang berisi drama percintaan religius dengan setting Timur Tengah mendadak begitu banyak lahir. Cover bergambar realis, seorang perempuan mengenakan cadar dan hanya menampakkan sepasang matanya yang misteri, tiba-tiba sangat sering dipakai. Judul buku yang menggunakan frasa ''cinta'' ditambah dengan embel-embel ''kisah pembangun jiwa'' juga banyak muncul. Dan, terakhir, dan ini yang paling aneh, banyak penulis mengganti atau menggunakan nama pena yang berbau-bau ''El'' dan ''Al'', epigon dengan nama El Shirazy.

Novel Laskar Pelangi memang tidak sekuat Ayat-Ayat Cinta dalam menarik penerbit dan penulis epigon. Mungkin karena novel tersebut sukar ditiru terutama dari segi isinya yang memukau. Tetapi, bukan berarti tidak ada yang membonceng novel tersebut sebagai jalan pintas melahirkan buku laris. Beberapa buku, tidak perlu saya sebutkan judul dan penulisnya, ada yang sangat jelas membonceng kesuksesan Laskar Pelangi dengan memilih judul dan cover yang begitu mirip.

Fenomena di atas sekilas memang terasa aneh dan konyol. Buku, yang notabene merupakan sebuah produk intelektual, ternyata tidak jauh berbeda dengan rokok, pasta gigi, atau sepeda motor. Itu terjadi karena potret pembeli (bukan pembaca) buku di Indonesia lebih didasari pada kemasan cover ketimbang isi. Minat untuk membeli dilandasi karena euforia yang terjadi bukan karena kebutuhan. Itulah kenapa penerbit-penerbit di Indonesia rela membayar mahal para desainer cover. Jauh berbeda dengan negera maju seperti Jepang dan Amerika di mana keputusan masyarakat dalam membeli buku bukanlah berasal dari cover semata, melainkan lebih mempercayai isi dan berdasar pada kebutuhan.

Epigon Kreatif?

Pramoedya Ananta Toer sedikit pun tidak malu ketika mengakui bahwa dirinya terpengaruh gaya Jonh Steinbeck, pengarang yang terkenal dengan novel realisnya Of Mice and Man, The Grapes of Wrath dan Pearl. Sebab Pram tetap berusaha memunculkan kebaruan dalam karya-karyanya. Ia menulis tidak dikarenakan ingin bukunya laris, terkenal, atau dapat uang banyak, tetapi lebih didasari karena kegelisahan dalam jiwanya atas berbagai fenomena di sekelilingnya.

Seorang penulis tentu saja mesti belajar dari penulis lain tentang bagaimana melahirkan karya yang baik dan laku. Malah tidak jarang ada penulis yang menyalin ulang karya-karya penulis besar sebagai cara untuk lebih mendalami dan menghayati ide dengan maksud nantinya dapat melahirkan buku yang lebih baik dari buku yang dibaca dan ditulis ulang itu. Namun, tidak jarang pula penulis yang memilih jalan pintas, yang lebih mengutamakan hasil daripada proses.

Satu hal yang perlu dicatat bahwa epigon yang dilakukan penulis lebih sering terdorong karena tuntutan pasar. Bukankah banyak penulis yang menulis karena pesanan dari penerbit? Inilah masalahnya, lagi-lagi penerbit yang notabene merupakan sebuah industri menjadi sumber lahirnya buku-buku epigon. Betapa banyak penulis yang mengaku bahwa sebenarnya ia tidak senang dengan judul bukunya, tetapi karena kemauan penerbit untuk memenuhi selera pasar maka ia terpaksa setuju. Beberapa penulis bahkan ada yang rela mengganti namanya karena kehendak dari penerbit guna meroketkan penjualan.

Menjadi epigon adakalanya baik dan adakalanya buruk. Kretativitas seorang penulislah yang akan menentukan apakah akan selamanya epigon atau pada akhirnya menciptakan sebuah pembaruan. Kreativitas penerbitlah yang akan menenentukan apakah ia akan melahirkan buku-buku yang lebih berkualitas, menciptakan tren baru, ataukah terus-menerus mendompleng buku-buku yang sudah menjadi tren guna melancarkan usahanya.

Jalan yang ditempuh penerbit ketika mengekalkan sebuah tren pasar dengan menerbitkan buku yang memiliki tema serupa dan cover, judul dan nama penulis yang mirip sungguh tidaklah mendidik, melainkan sebuah jalan yang amat dekat dengan pembodohan publik. (*)

Jusuf A.N ., penggiat Rumah Poetika Jogjakarta

Sumber Jawa Pos, 23 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar