Cerpen masih jadi menu lezat untuk pembaca? Kriteria lezat tentu mengandung pengertian resepsi dan interpretasi. Cerpen jadi pertaruhan untuk memanjakan atau melenakan selera dalam tegangan cerpenis, redaktur, dan pembaca. Cerpen-cerpen pun tak jemu jadi menu di lembaran-lembaran kebudayaan koran dengan wajah dan sapa menggoda. Suguhan cerpen-cerpen itu menjadi tanda koma yang mengabarkan bahwa negeri ini memiliki daftar panjang homo fabulans (manusia pencerita). Homo fabulans itu mengajukan cerpen sebagai menu ampuh untuk mengabarkan lakon manusia.
Cerpen adalah juru bicara. Dalil ini mungkin patut diajukan untuk meresepsi kehadiran buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009 yang disuguhkan oleh program Anugerah Sastra Pena Kencana. Cerpen jadi godaan yang minta perhatian. Godaan itu jadi tanda tanya dan tanda seru dalam ranah kehadiran cerpen-cerpen Indonesia yang membutuhkan hormat dan nilai. Godaan bisa memuncak dan melemah tergantung pada relasi dan transaksi dalam pergulatan estetika dengan media, tingkah pembaca, iklim politik, arus sosial, atau musim kultural.
Prolog dari Triyanto Triwikromo mengesankan bahwa kehadiran 20 cerpen sebagai pilihan menu lezat cerpen Indonesia berada dalam kepungan tanya dan kerepotan menemukan jawaban. Konklusi pun lekas diwartakan bahwa kesusastraan Indonesia masih nelangsa. Cerpen terus diproduksi dengan gegap-gempita dan melimpah tanpa menebar sihir impresif untuk manusia-manusia di luar dunia teks untuk membaca cerpen-cerpen yang kerap dianggap elitis. Prolog ini jadi pengesahan untuk memerkarakan cerpen sebagai realisasi laku kreatif yang hidup dalam ancaman malaikat-malaikat maut. Cerpen: hidup atau mati?
Fenomena kritis atas nasib cerpen sejak lama jadi polemik dan keluhan. Jawaban-jawaban eksplisit justru diajukan dengan keriuhan pemuatan cerpen di koran dan penerbitan antologi cerpen. Publikasi cerpen jadi jawaban atas ragu atau curiga meski tak menghapus dilema. Radhar Panca Dahana (2005) mengingatkan kehadiran dan signifikansi cerpen sebagai penghuni genre prosa: ''Untuk apa lagi prosa diproduksi? Ketika dunia sesungguhnya telah menjelma menjadi prosa. Ketika logika hidup, imaji publik, atau peristiwa-peristiwa rutin sudah begitu prosaik .... Headline surat kabar, gosip-gosip tabloid, bincang di radio, cover majalah, diskusi cafe, keceriwisan warung kopi, wabah infotaiment, hingga soap opera di milis atau komunitas, SMS, telah dengan rajinnya (dalam hitungan detik) mempersembahkan kisah-kisah nyata yang tak sekadar luar biasa, tapi juga tak terbayangkan (unimaginable).'' Cerpen memang terus ada dengan tegangan-tegangan untuk gairah atau gerah.
Kehadiran buku ini jadi jawaban lanjutan atas nasib cerpen. Pilihan atas cerpen yang dianggit oleh Agus Noor, A.S. Laksana, Ayu Utami, Azhari, Danarto, Eka Kurniawan, F. Dewi Ria Utari, Gunawan Maryanto, Intan Paramadhita, Lan Fang, Linda Christanty, M. Iksana Banu, Naomi Srikandi, Nukila Amal, Putu Wijaya, Ratih Kumala, Stefany Irawan, Triyanto Triwikromo, Zaim Rofiqi, dan Zelfeni Wimra jadi representasi optimisme cerpen mutakhir untuk tak terus nelangsa. Perkara substantif adalah cerpen dengan olahan, sajian, dan rasa pada pembaca. Cerpen-cerpen itu pun ingin menyapa pembaca sebagai konsekuensi dari kerja sastra dan kultural.
Cerpen Zaim Rofiqi yang berjudul Kamar Bunuh Diri patut jadi perhatian pembaca untuk memerkarakan nasib cerpen Indonesia mutakhir. Alinea pertama: Kau tentu mengira kamar itu kecil. Terlalu sempit sehingga membuat pikiran sumpek, udara mampet, angan-angan mandek? Alinea ini bisa dipakai untuk menguji kelezatan cerpen-cerpen terbaik yang disuguhkan pada pembaca. Kelezatan 20 cerpen dalam buku ini kerap memberi impresi dengan gerak dan jalan beda. Konklusi: Kau jangan mengira buku antologi cerpen ini ada dalam kamar kecil tapi kau memiliki hak untuk menerima atau menolak sumpek, mampet, dan mandek.
Ini cecapan kecil atas kelezatan sekian cerpen. Cerpen Kartu Pos dari Surga anggitan Agus Noor memberi haru yang ungu atas kisah bocah perempuan untuk menanyakan ibu. Cerpen Sonata dari Lan Fang memberi godaan puitik untuk menikmati naif dan romantisme. Cerpen Lembah Kematian Ibu menyuguhkan pedih perempuan yang sepi liris dan rindu dendam. Cerpen Usaha Menjadi Sakti dari Gunawan Maryanto memberi kesan biografi manusia untuk mengalami sebagai manusia. Cerpen Tuhan, Pawang Hujan, dan Pertarungan yang Remis mengingatkan resah cinta, dendam, luka, dan kematian yang dramatis.
Kelezatan cerpen-cerpen itu beda dengan tendensi aktualitas dari sekian cerpen sebagai bukti keintiman cerpen (fiksi) yang hadir di koran yang mengusung berita (fakta). Cerpen Terbang anggitan Ayu Utami jadi tanda seru untuk musibah-musibah kecelakaan dan refleksi atas nyawa. Cerpen Suap dari Putu Wijaya jadi satire yang menggelikan dan memuakkan atas lakon korupsi. Cerpen Perbatasan karya F. Dewi Ria Utari jadi panggung tanya untuk pornografi dan pornoaksi. Cerpen-cerpen ini jadi refleksi meski dalam cecapan kelezatan kadang lekas kehilangan impresi atas bahasa dan kisah.
Penilaian Wicaksono Adi mengenai cerpen-cerpen dalam buku ini sangat fasih menciptakan bentuk yang sesuai dengan isi cerita mungkin patut diamini. Kefasihan itu sebagai faktor dari kerja homo fabulans untuk menciptakan komunikasi dan interaksi. Kefasihan itu ada tapi terkadang melenakan karena kurang mengurusi kelezatan untuk pengekalan reflektif lalu cenderung menjadi catatan kecil atas berita. Barangkali curiga ini yang hendak diterangkan oleh Wicaksono Adi dalam istilah ''bobot kehadiran'' (cerpen tidak melulu bertumpu pada ''cerita'' tetapi dapat meluas menuju hal-hal lain yang mengitari peristiwa atau segala ihwal yang berada di balik ''cerita''). Begitukah? (*)
*) Bandung Mawardi, peneliti Kabut Institut Solo
---
JudulBuku: 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009
Penulis: Agus Noor, A.S. Laksana, Ayu Utami, dkk
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetak: I, Februari 2009
Tebal: liii + 176 Halaman
Sumber www.jawapos.co.id
Pages - Menu
▼
29 Mei 2009
Cerita dari Negeri Oranye
Menjejakkan kaki pertama kali di bandara internasional Schipol, Amsterdam, sama sekali tidak mengusir rasa kantuk setelah nyaris 14 jam duduk di pesawat jurusan Jakarta - Kuala Lumpur - Amsterdam. Namun rasa kantuk itu mendadak hilang saat tahu rekan-rekan para pengurus PPI Belanda telah menjemput dan begitu ramah membantu membawa koper serta mulai bercerita seputar kehidupan di Belanda.
Bagi sebagian besar calon mahasiswa program master di berbagai kampus di Belanda, melanjutkan kuliah di negeri kincir angin merupakan pintu masuk ke benua Eropa. Benua yang melahirkan abad pencerahan ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan teknologi. Sehingga sejak persiapan awal di Jakarta, sudah banyak rekan calon mahasiswa ke Belanda sudah mengagendakan berkunjung ke kota mana saja jika sudah tiba di Belanda. Selain seantero kota-kota Belanda perlu dijelajahi, nyaris sebagian besar mahasiswa Indonesia di Belanda tak lupa wisata ke Italia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, bahkan ada pula yang berkelana ke negara-negara bekas Eropa Timur dan Balkan.
Mungkin hanya dibutuhkan waktu dua hari -atau malah sehari saja - untuk bisa berkeliling ke seluruh Belanda dengan tiket kereta api yang bisa dibeli dengan kartu diskon di supermarket Kruidvat. Berkelana menikmati keindahan kota-kota di Belanda memang menjadi salah satu cara mahasiswa Indonesia agar terhindar dari kejenuhan belajar. Bayangkan, nyaris tiada hari tanpa membaca, diskusi atau debat secara kritis di kampus. Bahan bacaan yang bertumpuk-tumpuk wajib dibaca sebelum masuk ke ruang kuliah agar tidak cuma melongo saja saat debat di ruang kuliah. Akibatnya, kelelahan dan kejenuhan selalu menghinggapi di akhir pekan dan obat mujarab untuk mengatasinya adalah menikmati perjalanan di Belanda atau pergi ke museum.
Nyaris di seluruh kota Belanda terdapat museum atraktif dan selalu mempunyai agenda acara wajib untuk ditonton. Salah satunya Rijksmuseum di Amsterdam yang memajang perjalanan ekspedisi VOC ke berbagai belahan dunia lain. Bahkan ada duplikat kapal VOC yang sengaja diletakkan di salah satu kanal di Amsterdam.
Di dalam buku ini dijelaskan tips-tips menarik untuk hidup hemat agar bisa menyisihkan uang saku beasiswa agar bisa melancong ke berbagai negara Eropa. Para tokoh dalam buku ini adalah mahasiswa Indonesia dari kampus berbeda, tapi mereka bertemu di Amersfort, tepatnya di sebuah stasiun kereta api di kota itu, karena menunggu badai yang menunda perjalanan mereka dengan kereta. Sebuah pertemuan tak disengaja yang kemudian mengakrabkan kelima mahasiswa tersebut. Mereka adalah Banjar, Lintang, Wicak, Geri, dan Daus. Sejak saat itu, hari-hari mereka kemudian diisi dengan berbagai aktivitas persahabatan di berbagai kegiatan.
Melalui aktivitas itulah, pembaca kemudian diajak memasuki keseharian, kebiasaan, dan budaya Belanda. Para mahasiswa Indonesia ini melancong ke berbagai kota di Belanda, seperti Leiden, Rotterdam, Maastricht, Utrecht, Amsterdam, Den Haag, Wageningen, dan Delft. Sembari terus mengabarkan bagaimana suasana atau situasi sehari-hari yang dihadapi. Buku ini unik karena penggambarannya yang mengalir, jenaka, tapi tetap mempertahankan rincian lokasi serta suasana. Jika buku-buku bergenre travelling umumnya lebih mengarahkan pembaca kepada lokasi wisata untuk dikunjungi atau even-even wisata yang digelar, maka kelebihan buku ini terletak pada interaksi yang sangat intens antara para tokoh dengan objek-objek penting di Belanda. Interaksi ini membuahkan pengalaman yang kemudian dibagi kepada pembaca, tanpa ada kesan menggurui.
Seperti kebiasaan merokok kretek. Para mahasiswa perokok asal Indonesia sudah terbiasa mengisap rokok kretek yang harganya sangat mahal sekaligus agak langka ditemui di Belanda. Untuk menyiasati agar tetap bisa mengisap rokok kretek, mereka mempunyai kiat unik. Yakni menjaga hubungan baik dengan para mahasiswa program doktoral asal Indonesia atau siapa saja yang sering pulang pergi ke Indonesia. Di antaranya, membantu aktivitas mereka tanpa harus mengorbankan jadwal akademik atau tugas-tugas kampus.
Para mahasiswa program master di Belanda biasanya mempunyai waktu luang selain di akhir pekan, juga pada saat usai ujian. Walhasil, pasokan rokok kretek asli Indonesia bisa diperoleh dengan mudah, malah bisa gratis. Selera Nusantara memang sulit terhapus dari keseharian mahasiswa Indonesia di Belanda.
Selain rokok kretek, soal makanan juga susah berpindah ke menu sehari-hari makanan Belanda, kecuali minum susu dan makan keju. Jumlah restoran Indonesia dalam satu kota di Belanda bisa lebih dari 150 buah, besar maupun kecil. Misalnya, restoran masakan Indonesia ''Dayang'' di Den Haag. Tampak dari luar agak kecil dibanding toko-toko di kanan-kirinya. Namun, setiap menjelang makan siang atau makan malam, antrean panjang pengunjung restoran itu selalu terjadi nyaris setiap hari. Hebatnya, mereka yang antre adalah warga lokal alias penduduk Belanda. Masakan yang disajikan sangat khas Indonesia, mulai nasi pecel, gado-gado, nasi kuning, rendang, nasi campur, nasi gudeg, dan aneka kerupuk. Aneka masakan Nusantara itu juga menjadi menu favorit yang ditunggu-tunggu para mahasiswa Indonesia pada setiap gelar acara di KBRI Belanda yang berlokasi di kawasan elite Jalan Tobias Asserlaan, Den Haag. Dari makanan inilah sering muncul rasa nasionalisme para mahasiswa tatkala mereka membandingkan citarasa masakan Nusantara dengan masakan Eropa yang nyaris terasa hambar.
Hal sepele terasakan berbeda saat berada nun jauh di negeri kincir angin. Bahkan kadang membuat rasa rindu pada tanah air jadi tak terbendung. Untuk mengobatinya, KBRI sering menggelar pertemuan warga Indonesia di Belanda.
Suatu ketika, pada Februari 2007, KBRI memutar film dokumenter pemenang FFI 2006 berjudul Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Film itu berkisah tentang orang-orang Rusia peminat berat studi Indonesia. Tayangan film itu ibarat menjadi pengobat rasa rindu para bekas mahasiswa Orde Lama yang turut menyaksikan pemutarannya di aula Nusantara KBRI Den Haag. Usai nonton bareng, digelar diskusi singkat dan para eksil Orde Lama yang tak bisa kembali ke Indonesia semasa Orde Baru berkuasa, memberikan testimoni betapa rindu mereka pada tanah air. Apalagi ketika KBRI memutar perdana film Nagabonar Jadi 2 di aula yang sama pada beberapa bulan berikutnya. Ruangan aula sesak dijejali para penonton yang sebagian besar warga Indonesia. Mereka datang dari berbagai penjuru Eropa. Usai film diputar, para penonton memberi applaus sembari berdiri nyaris tiada henti dan si Nagabonar Deddy Mizwar yang ikut menyaksikan sangat terharu pada antusiasme warga Indonesia di negeri rantau itu.
Buku ini merupakan percampuran antara fakta dan fiksi. Tokoh-tokoh yang hadir bersifat fiksi rekaan penulisnya, meski masa lalu para tokoh dibangun melalui teknik flashback yang konon merujuk pada sosok tertentu -sesama mahasiswa rantau di Belanda- yang memang pernah menjalin keakraban dengan keempat penulis. Namun demikian, karakter para tokohnya sangat kuat, dari awal hingga akhir buku. Boleh dikatakan, buku ini jauh dari pretensi sekadar refleksi pribadi atau memoar yang sering dijumpai pada buku-buku kisah perantauan di negeri orang. (*)
*) Rosdiansyah, penggiat Surabaya Readers Club
---
Judul buku: Negeri van Oranje
Editor: Wahyuningrat, Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana, Adept Widiarsa
Penerbit: Bentang Pustaka Jogjakarta
Cetakan: Pertama, April 2009
Tebal: 471 halaman
Sumber www.jawapos.co.id
Bagi sebagian besar calon mahasiswa program master di berbagai kampus di Belanda, melanjutkan kuliah di negeri kincir angin merupakan pintu masuk ke benua Eropa. Benua yang melahirkan abad pencerahan ilmu pengetahuan, kemanusiaan dan teknologi. Sehingga sejak persiapan awal di Jakarta, sudah banyak rekan calon mahasiswa ke Belanda sudah mengagendakan berkunjung ke kota mana saja jika sudah tiba di Belanda. Selain seantero kota-kota Belanda perlu dijelajahi, nyaris sebagian besar mahasiswa Indonesia di Belanda tak lupa wisata ke Italia, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, bahkan ada pula yang berkelana ke negara-negara bekas Eropa Timur dan Balkan.
Mungkin hanya dibutuhkan waktu dua hari -atau malah sehari saja - untuk bisa berkeliling ke seluruh Belanda dengan tiket kereta api yang bisa dibeli dengan kartu diskon di supermarket Kruidvat. Berkelana menikmati keindahan kota-kota di Belanda memang menjadi salah satu cara mahasiswa Indonesia agar terhindar dari kejenuhan belajar. Bayangkan, nyaris tiada hari tanpa membaca, diskusi atau debat secara kritis di kampus. Bahan bacaan yang bertumpuk-tumpuk wajib dibaca sebelum masuk ke ruang kuliah agar tidak cuma melongo saja saat debat di ruang kuliah. Akibatnya, kelelahan dan kejenuhan selalu menghinggapi di akhir pekan dan obat mujarab untuk mengatasinya adalah menikmati perjalanan di Belanda atau pergi ke museum.
Nyaris di seluruh kota Belanda terdapat museum atraktif dan selalu mempunyai agenda acara wajib untuk ditonton. Salah satunya Rijksmuseum di Amsterdam yang memajang perjalanan ekspedisi VOC ke berbagai belahan dunia lain. Bahkan ada duplikat kapal VOC yang sengaja diletakkan di salah satu kanal di Amsterdam.
Di dalam buku ini dijelaskan tips-tips menarik untuk hidup hemat agar bisa menyisihkan uang saku beasiswa agar bisa melancong ke berbagai negara Eropa. Para tokoh dalam buku ini adalah mahasiswa Indonesia dari kampus berbeda, tapi mereka bertemu di Amersfort, tepatnya di sebuah stasiun kereta api di kota itu, karena menunggu badai yang menunda perjalanan mereka dengan kereta. Sebuah pertemuan tak disengaja yang kemudian mengakrabkan kelima mahasiswa tersebut. Mereka adalah Banjar, Lintang, Wicak, Geri, dan Daus. Sejak saat itu, hari-hari mereka kemudian diisi dengan berbagai aktivitas persahabatan di berbagai kegiatan.
Melalui aktivitas itulah, pembaca kemudian diajak memasuki keseharian, kebiasaan, dan budaya Belanda. Para mahasiswa Indonesia ini melancong ke berbagai kota di Belanda, seperti Leiden, Rotterdam, Maastricht, Utrecht, Amsterdam, Den Haag, Wageningen, dan Delft. Sembari terus mengabarkan bagaimana suasana atau situasi sehari-hari yang dihadapi. Buku ini unik karena penggambarannya yang mengalir, jenaka, tapi tetap mempertahankan rincian lokasi serta suasana. Jika buku-buku bergenre travelling umumnya lebih mengarahkan pembaca kepada lokasi wisata untuk dikunjungi atau even-even wisata yang digelar, maka kelebihan buku ini terletak pada interaksi yang sangat intens antara para tokoh dengan objek-objek penting di Belanda. Interaksi ini membuahkan pengalaman yang kemudian dibagi kepada pembaca, tanpa ada kesan menggurui.
Seperti kebiasaan merokok kretek. Para mahasiswa perokok asal Indonesia sudah terbiasa mengisap rokok kretek yang harganya sangat mahal sekaligus agak langka ditemui di Belanda. Untuk menyiasati agar tetap bisa mengisap rokok kretek, mereka mempunyai kiat unik. Yakni menjaga hubungan baik dengan para mahasiswa program doktoral asal Indonesia atau siapa saja yang sering pulang pergi ke Indonesia. Di antaranya, membantu aktivitas mereka tanpa harus mengorbankan jadwal akademik atau tugas-tugas kampus.
Para mahasiswa program master di Belanda biasanya mempunyai waktu luang selain di akhir pekan, juga pada saat usai ujian. Walhasil, pasokan rokok kretek asli Indonesia bisa diperoleh dengan mudah, malah bisa gratis. Selera Nusantara memang sulit terhapus dari keseharian mahasiswa Indonesia di Belanda.
Selain rokok kretek, soal makanan juga susah berpindah ke menu sehari-hari makanan Belanda, kecuali minum susu dan makan keju. Jumlah restoran Indonesia dalam satu kota di Belanda bisa lebih dari 150 buah, besar maupun kecil. Misalnya, restoran masakan Indonesia ''Dayang'' di Den Haag. Tampak dari luar agak kecil dibanding toko-toko di kanan-kirinya. Namun, setiap menjelang makan siang atau makan malam, antrean panjang pengunjung restoran itu selalu terjadi nyaris setiap hari. Hebatnya, mereka yang antre adalah warga lokal alias penduduk Belanda. Masakan yang disajikan sangat khas Indonesia, mulai nasi pecel, gado-gado, nasi kuning, rendang, nasi campur, nasi gudeg, dan aneka kerupuk. Aneka masakan Nusantara itu juga menjadi menu favorit yang ditunggu-tunggu para mahasiswa Indonesia pada setiap gelar acara di KBRI Belanda yang berlokasi di kawasan elite Jalan Tobias Asserlaan, Den Haag. Dari makanan inilah sering muncul rasa nasionalisme para mahasiswa tatkala mereka membandingkan citarasa masakan Nusantara dengan masakan Eropa yang nyaris terasa hambar.
Hal sepele terasakan berbeda saat berada nun jauh di negeri kincir angin. Bahkan kadang membuat rasa rindu pada tanah air jadi tak terbendung. Untuk mengobatinya, KBRI sering menggelar pertemuan warga Indonesia di Belanda.
Suatu ketika, pada Februari 2007, KBRI memutar film dokumenter pemenang FFI 2006 berjudul Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Film itu berkisah tentang orang-orang Rusia peminat berat studi Indonesia. Tayangan film itu ibarat menjadi pengobat rasa rindu para bekas mahasiswa Orde Lama yang turut menyaksikan pemutarannya di aula Nusantara KBRI Den Haag. Usai nonton bareng, digelar diskusi singkat dan para eksil Orde Lama yang tak bisa kembali ke Indonesia semasa Orde Baru berkuasa, memberikan testimoni betapa rindu mereka pada tanah air. Apalagi ketika KBRI memutar perdana film Nagabonar Jadi 2 di aula yang sama pada beberapa bulan berikutnya. Ruangan aula sesak dijejali para penonton yang sebagian besar warga Indonesia. Mereka datang dari berbagai penjuru Eropa. Usai film diputar, para penonton memberi applaus sembari berdiri nyaris tiada henti dan si Nagabonar Deddy Mizwar yang ikut menyaksikan sangat terharu pada antusiasme warga Indonesia di negeri rantau itu.
Buku ini merupakan percampuran antara fakta dan fiksi. Tokoh-tokoh yang hadir bersifat fiksi rekaan penulisnya, meski masa lalu para tokoh dibangun melalui teknik flashback yang konon merujuk pada sosok tertentu -sesama mahasiswa rantau di Belanda- yang memang pernah menjalin keakraban dengan keempat penulis. Namun demikian, karakter para tokohnya sangat kuat, dari awal hingga akhir buku. Boleh dikatakan, buku ini jauh dari pretensi sekadar refleksi pribadi atau memoar yang sering dijumpai pada buku-buku kisah perantauan di negeri orang. (*)
*) Rosdiansyah, penggiat Surabaya Readers Club
---
Judul buku: Negeri van Oranje
Editor: Wahyuningrat, Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana, Adept Widiarsa
Penerbit: Bentang Pustaka Jogjakarta
Cetakan: Pertama, April 2009
Tebal: 471 halaman
Sumber www.jawapos.co.id
23 Mei 2009
Aristoteles dan Para Pemikir Busuk
Politics and the fate of mankind are shaped by men without ideals and without greatness. Men who have greatness within them don't in for politics.
Albert Camus (1913-1960)
---
Politik itu kotor, kata Albert Camus, pengarang Prancis pemenang Hadiah Nobel Sastra 1957. Politik dan nasib umat manusia, katanya, dibentuk oleh orang-orang tanpa idealisme dan tanpa kehebatan (kearifan). Orang-orang yang memiliki kehebatan tidak mau terjun ke politik.
Buku ini rasanya terbit di saat yang tepat. Di tengah iklim politik yang carut-marut dan penuh pesimisme, buku ini jelas relevan. Setidaknya kita bisa lebih positif dalam memandang dunia politik. Ketidakacuhan seorang warga pada masalah politik sebenarnya merugikan dirinya sendiri. Seperti dikatakan Plato, salah satu hukuman karena menolak berpartisipasi dalam politik adalah Anda akhirnya akan diperintah oleh orang-orang yang lebih bodoh dari Anda.
Masalah ini pula yang digarisbawahi Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memberikan pengantar buku ini. Ia mengatakan, buku ini dapat memberikan pelajaran politik pada para politisi baru yang belum memiliki wawasan dan pendidikan politik. Terkadang, mereka berpikir pendek dan mempraktikkan politik uang, dagang sapi, dan konsesi politik yang membebani rakyat.
Tetapi, memang, membaca buku ini seseorang bisa langsung diliputi pertanyaan, seperti yang dirasakan KH Mustofa Bisri (Gus Mus). ''Mengapa 39? Mengapa Ibnu Khaldun masuk dan Imam Mawardi tidak? Mengapa Arief Budiman masuk dan Ir Soekarno tidak?'' kata Gus Mus. Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Gus Mus, ''Subjektivitas penulisnya - ketertarikannya, perhatiannya, dan sudut pandangnya -ikut menentukan.''
Apa yang dikatakan Gus Mus memang benar belaka. Subjektivitas penulis memang sangat menentukan pilihan. Dari soal ''Arief Budiman dan Ir Soekarno'' saja banyak orang bisa marah dan menyebut penulis buku ini naïf. Namun, seperti dikatakan Gus Mus, bagaimana pun upaya penulis untuk membantu kita mengenal tokoh-tokoh sosial-politik dunia perlu dihargai.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan bahasa Inggris bagus dan terbiasa belajar dengan internet, informasi yang lebih luas dan lengkap memang dapat diperoleh dengan mudah. Keunggulannya, informasi tokoh-tokoh dalam buku ini sudah tersusun sistematis, terlepas dari subjektivitas penulisnya dalam memilih tokoh-tokoh yang ditampilkan.
Socrates hingga Obama
Dari 39 tokoh yang ditampilkan, sebagian besar nama-nama yang sudah sangat popular. Diawali dengan Socrates dan Plato, penulis menderetkan nama-nama seperti Aristoteles, Ibnu Khaldun, Niccolo Machiavelli, Rene Descartes, John Locke, Karl Marx, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Emile Durkheim, Samuel P. Huntington, Francis Fukuyama, Arief Budiman, dan Barack Obama.
Socrates ditempatkan di nomor pertama, mungkin karena ia memang tokoh dan pemikir generasi pertama dari tiga ahli pemikiran filsafat besar dari Yunani, yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ia juga figur tradisi filsafat Barat yang paling penting. Sumbangan pemikirannya yang dinilai paling besar adalah metode penyelidikannya, yaitu metode elenchus, untuk menguji konsep moral utama. Oleh karena itulah ia disebut sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral.
Pemilihan Ibnu Khaldun di tengah belantara para pemikir Barat rasanya sangat menarik. Tetapi rasanya juga tidak mengada-ada. Dari apa yang disampaikan Ibnu Khaldun (1332 M-1406 M), kita akan tahu bahwa Islam mungkin sekali merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Seperti dijabarkan Antony Black, pemikiran politik Islam tergelar panjang dari masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum hingga tata negara. Antony Black juga mengatakan, pemikiran politik Islam dipengaruhi pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.
Lalu ada tokoh Niccolo Machiavelli (1469-1527), yang sering disalahmengerti sebagai tokoh yang ''busuk''. Padahal, Machiavelli hanyalah seorang diplomat yang mendasarkan pemikirannya pada kebutuhan praktis. Namun, memang, pandangan-pandangannya sering menciptakan kesan provokatif ke arah ''segala cara'' bagi penguasa. Dalam karyanya Il Principe, misalnya, ia mengatakan bahwa penguasa harus mampu bermain serbabisa, baik sebagai manusia maupun binatang buas. Seorang penguasa ibaratnya harus bisa mencontoh rubah yang cerdik dan singa yang perkasa; karena singa tak lepas dari jerat, sementara rubah tak dapat lolos dari serigala. Jadi, penguasa harus menjadi rubah untuk mengenali jerat dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala.
Siapa pula tak kenal Karl Marx (1818-1883)? Pemikir besar ini begitu populer, selain juga dikesankan sebagai ''pemikir busuk'' sepanjang sejarah. Inilah tokoh yang pemikirannya ''membelah dunia'' jadi dua. Karya-karya Marx dibakar dan dilarang di banyak negara. Selama puluhan tahun, terutama di abad ke-20, berbagai negara di Eropa, Afrika, Asia, hingga Amerika Latin, terbelah dua karena dilanda perang dan permusuhan bangsa sendiri. Ratusan juta orang tewas.
Dan Barack Obama? Orang banyak menyebut, pemikiran dan tindakan politik Obama bisa disebut sebagai praktik politik multikultural. Hal itu karena terkait dengan latar belakang keluarga dan bagaimana cara interaksi sosial dan tindakan politiknya sehingga dapat merangkul semua kalangan, ras, etnis, dan bahkan dunia.
Sebuah buku yang cukup melelahkan karena tebal (447 halaman). Tetapi, buku ini pantas dimiliki pejabat, politisi, dan kalangan profesional lain. (*)
*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku
---
Judul Buku: 39 Tokoh Sosiologi Politik
Penulis: Choirul Mahfud
Penerbit: Jaring Pena, Surabaya
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal : xxx + 447 halaman
Dikutip dari www.jawapos.co.id
Albert Camus (1913-1960)
---
Politik itu kotor, kata Albert Camus, pengarang Prancis pemenang Hadiah Nobel Sastra 1957. Politik dan nasib umat manusia, katanya, dibentuk oleh orang-orang tanpa idealisme dan tanpa kehebatan (kearifan). Orang-orang yang memiliki kehebatan tidak mau terjun ke politik.
Buku ini rasanya terbit di saat yang tepat. Di tengah iklim politik yang carut-marut dan penuh pesimisme, buku ini jelas relevan. Setidaknya kita bisa lebih positif dalam memandang dunia politik. Ketidakacuhan seorang warga pada masalah politik sebenarnya merugikan dirinya sendiri. Seperti dikatakan Plato, salah satu hukuman karena menolak berpartisipasi dalam politik adalah Anda akhirnya akan diperintah oleh orang-orang yang lebih bodoh dari Anda.
Masalah ini pula yang digarisbawahi Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memberikan pengantar buku ini. Ia mengatakan, buku ini dapat memberikan pelajaran politik pada para politisi baru yang belum memiliki wawasan dan pendidikan politik. Terkadang, mereka berpikir pendek dan mempraktikkan politik uang, dagang sapi, dan konsesi politik yang membebani rakyat.
Tetapi, memang, membaca buku ini seseorang bisa langsung diliputi pertanyaan, seperti yang dirasakan KH Mustofa Bisri (Gus Mus). ''Mengapa 39? Mengapa Ibnu Khaldun masuk dan Imam Mawardi tidak? Mengapa Arief Budiman masuk dan Ir Soekarno tidak?'' kata Gus Mus. Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Gus Mus, ''Subjektivitas penulisnya - ketertarikannya, perhatiannya, dan sudut pandangnya -ikut menentukan.''
Apa yang dikatakan Gus Mus memang benar belaka. Subjektivitas penulis memang sangat menentukan pilihan. Dari soal ''Arief Budiman dan Ir Soekarno'' saja banyak orang bisa marah dan menyebut penulis buku ini naïf. Namun, seperti dikatakan Gus Mus, bagaimana pun upaya penulis untuk membantu kita mengenal tokoh-tokoh sosial-politik dunia perlu dihargai.
Bagi mereka yang memiliki kemampuan bahasa Inggris bagus dan terbiasa belajar dengan internet, informasi yang lebih luas dan lengkap memang dapat diperoleh dengan mudah. Keunggulannya, informasi tokoh-tokoh dalam buku ini sudah tersusun sistematis, terlepas dari subjektivitas penulisnya dalam memilih tokoh-tokoh yang ditampilkan.
Socrates hingga Obama
Dari 39 tokoh yang ditampilkan, sebagian besar nama-nama yang sudah sangat popular. Diawali dengan Socrates dan Plato, penulis menderetkan nama-nama seperti Aristoteles, Ibnu Khaldun, Niccolo Machiavelli, Rene Descartes, John Locke, Karl Marx, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Emile Durkheim, Samuel P. Huntington, Francis Fukuyama, Arief Budiman, dan Barack Obama.
Socrates ditempatkan di nomor pertama, mungkin karena ia memang tokoh dan pemikir generasi pertama dari tiga ahli pemikiran filsafat besar dari Yunani, yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ia juga figur tradisi filsafat Barat yang paling penting. Sumbangan pemikirannya yang dinilai paling besar adalah metode penyelidikannya, yaitu metode elenchus, untuk menguji konsep moral utama. Oleh karena itulah ia disebut sebagai bapak dan sumber etika atau filsafat moral.
Pemilihan Ibnu Khaldun di tengah belantara para pemikir Barat rasanya sangat menarik. Tetapi rasanya juga tidak mengada-ada. Dari apa yang disampaikan Ibnu Khaldun (1332 M-1406 M), kita akan tahu bahwa Islam mungkin sekali merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Seperti dijabarkan Antony Black, pemikiran politik Islam tergelar panjang dari masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum hingga tata negara. Antony Black juga mengatakan, pemikiran politik Islam dipengaruhi pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.
Lalu ada tokoh Niccolo Machiavelli (1469-1527), yang sering disalahmengerti sebagai tokoh yang ''busuk''. Padahal, Machiavelli hanyalah seorang diplomat yang mendasarkan pemikirannya pada kebutuhan praktis. Namun, memang, pandangan-pandangannya sering menciptakan kesan provokatif ke arah ''segala cara'' bagi penguasa. Dalam karyanya Il Principe, misalnya, ia mengatakan bahwa penguasa harus mampu bermain serbabisa, baik sebagai manusia maupun binatang buas. Seorang penguasa ibaratnya harus bisa mencontoh rubah yang cerdik dan singa yang perkasa; karena singa tak lepas dari jerat, sementara rubah tak dapat lolos dari serigala. Jadi, penguasa harus menjadi rubah untuk mengenali jerat dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala.
Siapa pula tak kenal Karl Marx (1818-1883)? Pemikir besar ini begitu populer, selain juga dikesankan sebagai ''pemikir busuk'' sepanjang sejarah. Inilah tokoh yang pemikirannya ''membelah dunia'' jadi dua. Karya-karya Marx dibakar dan dilarang di banyak negara. Selama puluhan tahun, terutama di abad ke-20, berbagai negara di Eropa, Afrika, Asia, hingga Amerika Latin, terbelah dua karena dilanda perang dan permusuhan bangsa sendiri. Ratusan juta orang tewas.
Dan Barack Obama? Orang banyak menyebut, pemikiran dan tindakan politik Obama bisa disebut sebagai praktik politik multikultural. Hal itu karena terkait dengan latar belakang keluarga dan bagaimana cara interaksi sosial dan tindakan politiknya sehingga dapat merangkul semua kalangan, ras, etnis, dan bahkan dunia.
Sebuah buku yang cukup melelahkan karena tebal (447 halaman). Tetapi, buku ini pantas dimiliki pejabat, politisi, dan kalangan profesional lain. (*)
*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku
---
Judul Buku: 39 Tokoh Sosiologi Politik
Penulis: Choirul Mahfud
Penerbit: Jaring Pena, Surabaya
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal : xxx + 447 halaman
Dikutip dari www.jawapos.co.id