Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen

JL. Raya Sukowati Barat No. 15 D SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pelatihan IT

Pelatihan IT di BLC Kabupaten Sragen

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


24 Desember 2009

Menggagas Perpustakaan Khusus Anak

Oleh Romi Febriyanto Saputro*

Kota Sragen merupakan kota layak anak. Hal ini dibuktikan dengan penghargaan yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Sragen pada tanggal 23 Juli 2009 lalu yang menetapkan Sragen sebagai kota layak anak. Penghargaan ini tentu cukup membanggakan dan menggembirakan karena Kota Sragen termasuk sepuluh kota di tanah air yang meraih predikat kota layak anak.

Sragen memang layak meraih predikat ini. Beberapa sarana dan prasarana seperti arena bermain di GOR Diponegoro, Alun-Alun Sasono Langen Putro, Taman Wisata dan Pendidikan nDayu Alam Asri merupakan bukti kepedulian Pemerintah Kabupaten Sragen terhadap dunia anak.

Kepedulian ini akan semakin lengkap jika Kota Sragen memiliki perpustakaan khusus anak. Perpustakaan khusus anak memiliki nilai strategis untuk mewujudkan dunia membaca yang layak untuk anak. Dunia membaca sekaligus dunia bermain yang nyaman dan aman untuk anak-anak Indonesia. Dunia yang mengatur anak dengan aturan untuk anak bukan aturan untuk orang dewasa.

Selama ini anak-anak Indonesia terpaksa dan dipaksa untuk menikmati perpustakaan yang diperuntukkan bagi orang dewasa. Mereka akan kesulitan mengambil buku di rak yang dirancang untuk orang dewasa. Di perpustakaan pun mereka terpaksa membaca buku yang sebagian besar berlabel dewasa bukan berlabel anak-anak.

Perpustakaan khusus anak merupakan langkah terobosan untuk membangun pondasi bangsa yang kuat. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki budaya membaca yang tinggi. Untuk itu sudah menjadi keharusan hadirnya perpustakaan khusus anak di kota layak anak. Hal ini merupakan tahap pengembangan dari adanya layanan khusus anak di perpustakaan.

Gedung baru yang dibangun Pemkab Sragen untuk Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen di Jl. Raya Sukowati No. 15 D, tepatnya di belakang bakal gedung Media Center dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan Perpustakaan Khusus Anak Kabupaten Sragen. Sementara itu, gedung lama Kantor Perpustakaan Daerah di Jl. Pemuda No. 1 Sragen dapat difungsikan sebagai layanan khusus dewasa.

Pembagian layanan perpustakaan ini penting untuk dilakukan. Sejatinya, anak-anak memerlukan jenis layanan, jenis buku, jenis ruangan, dan jenis perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa.

Mereka memerlukan perpustakaan yang khusus didesain, dirancang, dan dipersembahkan untuk anak penerus generasi bangsa. Perpustakaan yang memiliki arena bermain, internet anak, layanan mendongeng, dan pustakawan pengasuh anak.

Perpustakaan yang membebaskan anak-anak untuk melakukan ekspresi, impresi, kreasi, dan aktualisasi diri. Sebuah perpustakaan yang layak anak !

*Romi Febriyanto Saputro, S. IP adalah pengelola blog Kantor Perpusda Kab. Sragen. Pemenang Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008
Artikel ini telah dimuat Jawa Pos Radar Solo pada tanggal 24 Desember 2009

22 Desember 2009

Cinta dan Pencarian Diri

Karya-karya Dewi Lestari atau yang populer dengan nama pena Dee, memang banyak mengangkat tema cinta, mulai Supernova (tiga seri), Filosofi Kopi, hingga Rectoverso. Demikian pula novel terbarunya ini, Perahu Kertas, masih kental tema cinta. Bedanya, novel ini bergenre populer dan menggunakan tokoh remaja yang berproses hingga menemukan kematangannya.

Karena bergenre populer, pembaca setia karya-karya Dee ketika baru memulai membaca novel ini mungkin akan sedikit merasakan hal yang agak berbeda dibandingkan saat menikmati karya Dee sebelumnya yang cenderung ''serius". Bisa dikatakan bahwa novel ini secara gaya penyajian dan alur mirip dengan chicklit atau teenlit. Akan tetapi, lambat laun, pembaca akan merasakan ruh Dee dalam novel yang ditulis selama 55 hari kerja ini -tulisan yang reflektif, dan, dalam batas-batas tertentu, bagi yang cukup akrab dengan tulisan-tulisan Dee selain karya fiksinya yang dapat ditemukan di weblognya, cukup menggambarkan ''pandangan dunia'' Dee tentang hidup, cinta, dan takdir.

Hebatnya, Dee bisa membungkus ide-ide yang sangat filosofis dan serius macam itu melalui tokoh-tokoh remaja novel ini. Dengan dua tokoh utama bernama Kugy dan Keenan, tokoh-tokoh remaja lainnya dalam novel ini tampil dalam rentang empat tahun, dimulai saat Kugy dan Keenan memulai masa perkuliahannya di Bandung.

Kugy adalah seorang gadis mungil yang aneh, cuek, pengkhayal, berantakan, dan bercita-cita menjadi juru dongeng dan penulis cerita. Keenan adalah seorang remaja cerdas, artistik, dan bermimpi menjadi pelukis. Keduanya dipertemukan secara kebetulan oleh Eko dan Noni, saat Eko menjemput Keenan, sepupunya, di Stasiun Bandung. Noni, pacar Eko, adalah sahabat karib Kugy sejak kecil.

Perkenalan Kugy dan Keenan di awal masa kuliah mereka ternyata pelan-pelan melahirkan perasaan saling mengagumi dan saling menyukai. Namun, situasinya menjadi rumit dengan fakta bahwa Kugy masih menjalin hubungan dengan Ojos, dan di sisi yang lain, Noni dan Eko tengah berupaya mencomblangkan Keenan dengan seorang famili Noni bernama Wanda. Dari titik inilah, ketegangan kisah cinta Kugy dan Keenan yang sebenarnya dimulai.

Lebih dari sekadar kisah cinta biasa, kisah Kugy dan Keenan juga menyimpan kisah pergulatan panjang pencarian diri yang otentik. Gagasan ini, jika disederhanakan dan diungkapkan dengan bahasa populer kalangan remaja, akan serupa dengan upaya untuk ''menjadi diri sendiri''. Tentang bagaimana Kugy dan Keenan merawat impian-impian, kata hati, pilihan hidup, dan cita-cita mereka, berhadapan dengan kompleks realitas hidup di lingkungannya masing-masing yang tak sederhana, dilematis, dan kadang tampak pahit.

Keenan, misalnya, digambarkan terpaksa kuliah di jurusan manajemen, sementara sejatinya dia ingin menyerahkan hidupnya di dunia kesenian. Ia harus mengikuti kehendak orang tuanya, sampai akhirnya di satu titik perjalanan kisah ini Keenan mengambil sebuah keputusan yang sangat berani: berhenti kuliah, berkomitmen mandiri secara ekonomi, dan total hidup dengan melukis.

Keteguhan Keenan dengan keputusannya ini tak bisa dilepaskan dari cerita-cerita inspiratif yang ditulis Kugy, terutama saat Kugy tengah tertekan dan kalut akibat proyek percomblangan Noni dan Eko, dan menuliskan pengalamannya dengan anak-anak miskin di pinggiran Bandung dalam kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit.

Titik penting novel ini terjadi saat Keenan memutuskan untuk menghilang dan tinggal di Ubud bersama Pak Wayan, sahabat lama ibunya, dan memulai merajut mimpinya menjadi pelukis. Di titik itu pula, pembaca akan merasakan bahwa jalinan perasaan Kugy dan Keenan terancam putus. Apalagi saat jalinan cerita ini menuturkan bahwa di Ubud Keenan terpikat dengan Luhde Laksmi, keponakan Pak Wayan. Sementara Kugy, yang baru lulus kuliah dan kemudian bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta, menjalin hubungan dengan bosnya di kantor.

Di bagian seperempat terakhir novel, pembaca akan menemukan bagian-bagian yang sangat menentukan bagi penyelesaian konflik dan keseluruhan alur kisah novel yang sebenarnya sudah lebih dulu dilansir dalam versi digital (WAP) pada April 2008. Di bagian ini, pembaca akan menemukan ''Dee yang sebenarnya'', yang menghadirkan renungan-renungan hidup yang mendalam dengan juru bicara tokoh-tokoh novel yang usianya kebanyakan masih belia. Memang, pembaca tidak akan terlalu dibebani dengan metafor-metafor berat dan refleksi filosofis yang cukup serius, seperti dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Namun, hal ini tidak mengurangi kualitas dan kedalaman refleksi Dee.

Salah satu kelebihan novel ini adalah efek adiktif yang dimilikinya. Dee sendiri menjelaskan bahwa novel ini memang mencoba mengambil semangat komik dan cerita bersambung, yang pada dasarnya berupaya menjaga rasa penasaran pembaca. Membaca Perahu Kertas, pembaca seperti akan dilayarkan ke suatu kisah yang cukup menguras emosi dan cukup bernuansa eksistensial.

Di tengah melimpahnya genre novel-novel populer remaja bertema cinta di pasar perbukuan, novel ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan baru untuk berbagi kisah yang memikat dan inspiratif yang sarat nilai-nilai renungan mendalam, jauh dari dangkal. Tak hanya soal cinta, tapi juga renungan soal relasi etis antarmanusia. (*)

M. Mushthafa, Mahasiswa program Master of Applied Ethics, Utrecht University, Belanda

---

Judul Buku : Perahu Kertas

Penulis : Dee

Penerbit : Bentang Pustaka, Jogjakarta

Cetakan : Pertama, Agustus 2009

Tebal : xii + 444 halaman

Sumber www.jawapos.co.id

17 Desember 2009

Harry Potter & Budaya Baca Kita

Oleh: Taufiq Ismail

Sastrawan dan Budayawan

Melalui seorang kawan yang membaca berita di internet, saya diberitahu tentang suatu peristiwa ''Gila-gilaan Harry Potter'' atau ''Harry Potter Mania'' di Amerika Serikat. Harry Potter adalah sebuah serial karangan JK Rowling, wanita penulis yang jadi kaya-raya berkat serialnya itu.

''Gila-gilaan'' atau ''mania'' itu menunjukkan antusiasme pembaca yang luar biasa pada karya itu. Pada suatu Sabtu malam (8 Juli 2000) puluhan ribu anak-anak, remaja dan orang tua antri di toko-toko buku di seluruh negara bagian AS untuk membeli serial ke-4, terbaru, buku karya Rowling, Harry Potter and the Goblet of Fire (HPGF). Tiga buku Rowling sebelumnya adalah Harry Potter and the Sorcerer's Stone, Harry Potter and the Chamber of Secrets, dan Harry Potter and the Prisoner of Azbakan.

Tiga judul buku tersebut, menurut berita tadi, telah terjual lebih dari 2 juta kopi di AS saja. Rowling tentu saja jadi bahan pembicaraan publik. Diskusi tentang dia dan karyanya ramai dihadiri pembacanya. Situs-situs Potter dibangun oleh fanatikus Potter. Belum lama ini Rowling menerima International Public Relations Association (IPRA) President's Award, sehingga dia kini sejajar dengan tokoh Burma Aung San Suu Kyi, Uskup Desmond Tutu dll penerima anugerah presiden IPRA itu.

Buku terbaru Rowling itu, menurut berita tadi, di toko-toko buku New York di tengah malam 8 Juli tersebut, dalam waktu satu jam berhasil terjual 114.000 buku. Beberapa waktu sebelum HPGF diedarkan, toko buku Barnes and Noble dan toko online-nya telah mencatat 360.000 pesanan. Paling kurang 9.000 truk Federal Express dikerahkan ke seluruh penjuru negeri melalui jaringan ritel raksasa Amazon.com untuk membantu menyebarkan 250.000 kopi HPGF yang dipesan peminat. Buku ini dikabarkan dicetak 3,8 juta kopi pada tahap pertama dan di tahap kedua (bulan itu juga) dicetak 2 juta lagi.

Sebagai pembaca buku, terutama buku-buku Islam, saya cemburu berat terhadap fenomena di atas. Bila dibandingkan dengan dunia perbukuan kita, khususnya buku-buku Islam, perbandingan itu bagaikan awan dan dasar sumur. Di Indonesia, ada buku Islam yang termasuk paling laris berjudul Berjumpa Allah Melalui Shalat terjemahan karya Mutawali Sya'rawi terbitan Gema Insani Press, Jakarta, yang terjual 120.000 kopi dalam waktu 10 tahun. Sebagai perbandingan, buku Rowling HPGF perlu waktu satu jam untuk mencapai angka penjualan sekitar itu.

Tapi, lama-lama saya menghentikan kecemburuan saya. Banyak faktor yang yang menyebabkan buku kurang atau tidak dibeli orang Indonesia. Anak muda Indonesia terpelajar yang masih mahasiswa dan rokok kreteknya mengepul-ngepul dan kaset musik hard rocknya berdentam-dentam, selalu mengeluh mengatakan buku mahal. Orang Indonesia terpelajar yang sudah bekerja dan punya sumber nafkah yang layak, lebih suka mengoleksi VCD, parfum dan aksesori mobil ketimbang mengoleksi buku. Minat baca masyarakat yang rendah ini tidak berdiri sendiri, tapi berjalin-berkelindan dengan masalah sosial lain yang berbagai-bagai.

Akar masalah yang paling dalam adalah sangat kurang ditanamkannya budaya baca buku di sekolah-sekolah kita, sejak SD, SLTP, sampai SLTA. Di sejumlah negara --kecuali Indonesia-- berlaku ketentuan wajib baca buku sastra bagi siswa sekolah menengah. Buku-buku itu tersedia di perpustakaan sekolah, siswa selain harus membaca, juga wajib menulis mengenainya. Hasil dari proses membaca itu kemudian diuji di kelas (lihat tabel).

Sebagai pembaca, saya tidak tahu banyak tentang buku apa, atau dari jenis mana, yang paling bagus sekarang ini. Tapi, kalau saya perhatikan rubrik resensi buku di surat-surat kabar dan majalah, saya merasa senang karena buku-buku Islam termasuk yang paling banyak diulas. Sayangnya, sejauh pengamatan saya, ulasan buku di media massa sekarang ini umumnya bersifat deskriptif saja, mengutip di sana-sini bagian buku yang dianggap penting kemudian ditutup dengan pujian bahwa buku ini layak dibaca. Begitu saja.

Sebaiknya media massa menyediakan ruangannya untuk memperkenalkan buku tidak sekedar informasi saja, melainkan juga ulasan yang agak mendalam, sehingga kita jadi lebih yakin untuk membelinya. Ada kawan-kawan yang terdorong membeli buku yang sesudah dibaca, ternyata kurang bermutu, bahasanya tidak disunting rapi-rapi, padahal dalam ulasan di media dikabarkan bagus. Pada saat ini cukup banyak media massa Islam, seperti Republika, Pelita, Panji Masyarakat, Suara Hidayatullah, Media Da'wah, Sabili dan lain-lain, tapi rasanya agak sulit untuk mendapatkan ulasan yang lengkap mengenai buku-buku Islam.

Selain itu, kehadiran resensi buku tidak selalu cepat, seringkali terlambat. Ada buku yang terbit di bulan Juni tahun lalu, misalnya, baru muncul resensinya Februari tahun ini. Berarti ada kekosongan waktu 8 bulan untuk mengetahui sebuah buku baru dari ulasan di media massa. Artinya, bagi mereka yang kurang rajin berkunjung ke toko buku, tidak akan tahu ada buku-buku baru.

Dugaan saya naskah resensi itu antre di meja redaksi sehingga harus menunggu waktu berbulan-bulan, karena memang harian biasanya hanya menyediakan ruang resensi pada edisi hari Ahad. Kalau demikian adanya, kebijakan media massa untuk hanya menyediakan rubrik resensi pada edisi Minggu, menurut hemat saya, perlu ditambah. Kompas kadang-kadang memuat resensi buku pada hari Senin atau Jumat, selain edisi Minggu, dan kebijakan ini patut dipuji.

Saya kira bukan ide jelek apabila ada media massa membuat semacam daftar buku-buku terbit terbaru, daftar buku-buku laris, lalu wartawannya mengulas secara komprehensif atas buku-buku itu. Kalau pun tidak diulas, tidak apalah, asal daftar buku baru terbit itu dimuat. Panduan semacam ini bagi peminat buku, perlu.

Di sisi lain, saya lihat cuma penerbit-penerbit besar saja yang mampu membayar ruang iklan penerbitan barunya. Kebanyakan penerbit tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi begini para penerbit hanya mengandalkan para peresensi. Tentu, baik sekali pihak penerbit memberikan pula penghargaan yang pantas untuk penulis resensi ini, di samping penulis resensi sudah menerima honorarium dari media massa.

Saya juga memperhatikan penerbitan buku Islam dewasa ini sedang digandrungi. Display buku-buku Islam di toko-toko baru besar menempati posisi yang cukup menonjol. Penerbitan buku Islam saat ini bukan hanya monopoli penerbit Islam, tapi juga penerbit umum, seperti Gramedia, dll. Beberapa pengarang Islam tidak enggan bukunya diterbitkan penerbit bukan Islam.

Misalnya, kumpulan karangan Syu'bah Asa berjudul Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik diterbitkan Gramedia (2000), dan buku AM Fatwa Kebebasan Beragama Diadili juga diterbitkan penerbit serupa (2000). Apakah pemahaman terhadap Islam dan informasi keislaman di Indonesia saat ini tengah mengalami pergeseran? Ini tentu memerlukan riset lebih dalam. Yang kita rasakan saat ini adalah baru tahap permulaan, di mana minat terhadap buku Islam -- membaca dan menerbitkannya -- mulai terlihat menanjak.

Di bulan Ramadhan ada juga stasiun televisi yang mau mengulas buku Islam. Stasiun Indosiar misalnya di bulan puasa pernah menayangkan acara bedah buku karangan Prof Dr Dawam Rahardjo berjudul Ensiklopedi Al-Quran terbitan Pramadina. Tapi saya tidak yakin acara itu ditonton orang karena ditayangkan jam 2 pagi, meskipun bulan puasa. Sebenarnya acara semacam itu sangat bagus untuk diteruskan, tapi memang apa yang dapat diharapkan dari dunia televisi kita yang eksistensinya ditentukan oleh ekonomi kapitalistik yang menghitung laba-rugi secara sangat lugas.

Acara pembicaraan buku, apapun jenisnya, termasuk buku Islam dan sastra, praktis tidak ada di medium yang luarbiasa ampuhnya itu. Di tahun 1950-an dan 1960-an, program Mutu Ilmu dan Seni RRI Ibukota, yang diselenggarakan Wiratmo Soekito, Anas Ma'ruf, Tuti Aditama dan Husseyn Umar, membahas pula buku-buku baru terbit dengan sangat terpelajar. Ini yang tidak kita lihat lagi di media elektronik ini.

Makalah disajikan untuk Yayasan Pustaka Umat pada Silaturahmi Nasional Penerbit dan Penulis Muslim [14/2]

Jumlah buku sastra yang wajib dibaca siswa SMU di sejumlah negara

1. SMU Singapura 6 judul

2. SMU Malaysia 6 judul

3. SMU Thailand Selatan 5 judul

4. SMU Brunei Darussalam 7 judul

5. SMU Jepang 15 judul

6. SMU Kanada 13 judul

7. SMU Amerika Serikat 32 judul

8. SMU Jerman 22 judul

9. SMU International, Swiss 15 judul

10. SMU Rusia 12 judul

11. SMU Prancis 20-30 judul

12. SMU Belanda 30 judul

13. AMS Hindia Belanda 25 judul

14. SMU Indonesia 0 judul

Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMU responden (bukan nasional), dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi, sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra yang dibaca cuma ringkasannya, dan siswa tak menulis mengenainya, dan tidak diujikan, dianggap nol.

* Taufiq Ismail, Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis? 1998).

15 Desember 2009

Dari Pinggiran ke Pemain Utama

BELUM lama ini, Tiongkok sukses merayakan ulang tahun ke-60 kemerdekaannya. Tahun lalu negeri itu juga menjadi tuan rumah Olimpiade yang luar biasa megahnya. Kesuksesan dan kemegahan kedua perayaan penting tersebut menyita perhatian dunia. Tak sedikit yang memprediksi masa depan negeri berpenduduk satu miliar itu akan menjadi salah satu kekuatan global.

Chairman/CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan mencatat, dinamika ekonomi-politik Tiongkok berkembang cepat sejak awal berdirinya pada 1949. Kini, situasi investasi dan keamanan dalam negeri terus membaik. Dalam dua dekade terakhir, kondisi ekonominya sangat berbeda dengan Tiongkok yang dikenal pada era 60-an atau 70-an.

Berawal dari revolusi kebudayaan, reformasi ekonomi, dan era keterbukaaan terhadap dunia luar pada 1978, Tiongkok di bawah kepemimpinan Deng-Xiaoping dan dilanjutkan Jiang Zemin hingga era Hu Jintao saat ini, kekuatannya terus diperhitungkan dan bisa ''mengancam'' dominasi Amerika di masa mendatang.

Saat ini kekuatan ekonomi Tiongkok berpengaruh signifikan pada konstelasi politik global. Kaplinsky (2006) menilai, Tiongkok bukan sekadar emerging economies, melainkan Asian drivers of global change. Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa Tiongkok telah berubah dari pemain ekonomi pinggiran menjadi pemain utama pasar global. Ekspornya ke AS pada kurun 1985-2004 melejit dari ''nol'' menjadi sekitar 15 persen dan kini terus meningkat.

Hingga hari ini Tiongkok menjadi salah satu negara donor terbesar untuk kawasan Asia Tenggara, sekaligus partisipasinya dalam penanganan bencana alam, gempa bumi, dan tsunami di kawasan ini, termasuk Indonesia. Yang terbaru adalah bantuannya yang besar dalam penyelesaian pembangunan megaproyek Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura).

Bila dicermati, kemajuan Tiongkok tidaklah dimulai dari nol, tapi bertahap. Pada 2005, Pusat Penelitian Modernisasi Tiongkok menerbitkan peta jalan modernisasi Tiongkok untuk abad ke-21. Isinya: pada 2025 produk domestik bruto (GDP) Tiongkok menyamai Jepang. Lalu pada 2050, Tiongkok harus menjadi negara maju di dunia. Atas dasar peta jalan itu, Tiongkok terus bergerak menuju masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.

Sejak ribuan tahun sebelum Masehi, Tiongkok memang sudah membangun banyak sistem kehidupan manusia dan melahirkan prinsip-prinsip pemikiran ketimuran yang tetap lestari sampai saat ini. Tiongkok juga memiliki mekanisme hubungan antarnegara yang cukup baik. Kekaisaran Tiongkok bahkan sempat menjalin hubungan diplomasi, perdagangan, dan kenegaraan dengan berbagai kawasan di dunia, termasuk Indonesia.

Kehadiran Laksamana Cheng Hoo di Indonesia adalah salah satu bukti nyata. Sejarah juga mencatat, lebih dari 5.000 tahun Tiongkok mengukuhkan diri sebagai salah satu bangsa yang beradab. Penemuan teknik pertanian, huruf hanzi (kanji), pembuatan kompas, mesiu, dan alat-alat percetakan, juga dilakukan penduduk Tiongkok.

Pada 1949-1978 Tiongkok melakukan pembangunan fisik dan nonfisik yang mengagumkan. Di antaranya pembangunan kualitas pendidikan. Wajib belajar diterapkan sejak 1950-an. Maka, tingkat buta huruf di Tiongkok pada masa Mao Zedong sangat rendah dan terus menyusut.

Gayung bersambut, perhatian akan kualitas pendidikan dan teknologi tersebut juga dilanjutkan Deng Xiaoping. Dia menyatakan, ''Bila Tiongkok ingin memodernisasi pertanian, industri, dan pertahanan, yang harus dimodernisasi lebih dulu adalah sains dan teknologi, serta menjadikannya kekuatan produktif.''

Tak salah bila dikatakan, kunci kesuksesan dan kemajuan Tiongkok bermula dari pendidikan dan teknologi. Nah, soal kekurangan sumber daya alam, Tiongkok bisa menutupinya dengan mengimpor dari negara lain.

Meski begitu, reformasi dan modernisasi Tiongkok bukan pula tanpa hambatan. Dalam kenyataannya, Tiongkok juga memiliki masalah internal-eksternal atau lokal-internasional yang cukup pelik.

Sebagaimana diungkap Phillips dan Moore, editor buku China; Economic, Political and Social Issue, Tiongkok juga menghadapi banyak masalah sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat lokal maupun internasional (hlm 239-271).

Di tingkat lokal, misalnya, baru-baru ini berita kasus Tibet dan konflik rasial di Xinjiang santer terdengar. Yakni, konflik rasial antara etnis Uighur yang mayoritas muslim namun menjadi minoritas di Xinjiang, dan etnis Han yang menjadi etnis mayoritas di Provinsi Xinjiang (daerah otonomi).

Konflik ini bukan kali pertama. Pada Agustus tahun lalu, Xinjiang juga bergejolak. Namun, konflik yang terjadi terakhir lebih besar dan memakan banyak korban meninggal dan ribuan orang ditahan karena diduga ikut dalam aksi rusuh itu.

Kebencian antara ras Uighur yang minoritas dan Han yang mayoritas juga punya sejarah tersendiri. Kebencian itu pernah memuncak dengan keinginan Uighur memisahkan diri. Namun, hal itu bisa diatasi oleh Mao Zedong pada 1949. Meski begitu, akar kebencian kedua suku itu tetap abadi hingga kini.

Pasang surut dan ketegangan internasional juga pernah terjadi. Antara lain hubungan Tiongkok-Asia Tenggara, khususnya dengan Indonesia. Pada 1960, hubungan Indonesia dan Tiongkok sempat terganggu akibat campur tangan pihak asing. Dampak konflik itu cukup terasa. Terutama bagi warga Tionghoa di Indonesia.

Namun, adanya tekanan dari dalam dan dunia luar, membuat Tiongkok terus berbenah diri. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan, dan perdamaian lebih dapat dihormati dan ditegakkan. (*)

Judul Buku: China; Economic, Political and Social Issues

Editor: J. M. Phillips dan L. J. Moore

Penerbit: Nova Science Publishers, New York

Cetakan: Pertama, 2009

Tebal: xii+321 Halaman

*) Choirul Mahfud , dosen dan peneliti LPPM UM Surabaya
Sumber www.jawaos.co.id

08 Desember 2009

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen Terbaik Ke- 2 Se-Jawa Tengah






Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen ditetapkan sebagai Juara II Lomba Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Tingkat Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor : 041/67/2009 Tanggal 4 Desember 2009.

Juara pertama di raih oleh Kantor Perpustakaan Kabupaten Batang. Juara III adalah Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Kota Magelang. Keluar sebagai Juara Harapan I sampai III berturut-turut adalah Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota Semarang, Kantor Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Cilacap, dan Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Magelang.

Pengumuman sekaligus penyerahan penghargaan dilakukan pada tanggal 7 Desember 2009 di Aula Gedung Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah Jl. Sriwijaya No 29 A Semarang. Penyerahan hadiah ini dilakukan bersamaan dengan Rapat Koordinasi Pengembangan Jaringan Kemitraan Bidang Perpustakaan.

Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen yang diwakili oleh Romi Febriyanto Saputro, S. IP menerima piala kejuaraan, piagam penghargaan, dan uang pembinaan.

Menurut Romi, predikat sebagai Juara II merupakan buah kerjasama yang cukup baik antara Pemerintah Kabupaten Sragen, segenap karyawan/karyawati Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen, dan doa seluruh masyarakat Sragen yang senantiasa mencintai perpustakaan.

“Aneka macam kegiatan promosi perpustakaan dan minat baca yang digelar oleh Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan faktor penentu yang sangat dipertimbangkan oleh Dewan Juri,” lanjut Romi.

Pemenang Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008 ini menuturkan bahwa sepanjang Tahun 2009 ini Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen telah menggelar Pameran Buku sebanyak dua kali, Workshop Otomasi Perpustakaan, Bimbingan Teknis Perpustakaan sebanyak lima angkatan, Lomba Pidato Bahasa Jawa, Lomba Mendongeng Cerita Lokal, Lomba Menulis Cerita Film, dan Lomba Perpustakaan Sekolah.

Kita semua tentu berharap untuk Tahun 2010, Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen dapat meningkatkan prestasi menjadi Perpustakaan Terbaik di Jawa Tengah. Semoga !

05 Desember 2009

“ KYAI AGENG SRAGEN”

Pada zaman dahulu kala Kerajaan Mataram di Kartasura mengalami kegemparan. Raden Mas Garedi, putra Pangeran Tepasana menentang kebijaksanaan para narapraja Mataram yang dekat dengan para Kompeni Belanda. Dalam usahanya itu Raden Mas Garendi mendapatkan dukungan dari orang – orang Cina yang ada di Kartasura serta beberapa orang Pangeran dan Abdi Dalem Narapraja Mataram.
“Hai, Tumenggung Alap-alap apa yang telah terjadi pada para narapraja di Kartasura ?” sabda Kanjeng Sunan mengawali pembincaraan.
“Ampun Gusti, hamba mendengar kabar, bahwa ananda Raden Mas Garendi melakukan pemberontakan menentang Tuan Kompeni.
“ Wee hehe..Bila demikian keadaannya, yang repot saya. Hai Alap-alap. Mana yang harus saya dukung? Bila memihak Kompeni, kasihan si Garendi. Tetapi bila saya memihak si Garendi, berarti saya harus menentang Kompeni. Alap-alap, apa yang harus saya lakukan?”
“Ampun Gusti, ananda Garendi menetang Tuan Kompeni, itu merupakan usaha untuk menegakkan Kerajaan Mataram.”, sembah Tumenggung Alap-alap.
“Oooo ……Alap-alap, sadarlah keadaanmu, keadaan kita sekarang ini! Mampukah kita melawan kekuatan kompeni?” Kompeni memiliki senapan dan meriam. Sedangkan kita … orang jawa, hanya memiliki senjata tombak, keris, pedang, dan sejenisnya. Saya tidak berani menentang kompeni. “
Mendengar sabda Kangjeng Sunan itu yang tidak teguh maka diputuskanlah dia beserta keluarganya pergi dari Kartasura menuju di desa Kranggan, daerah Sukawati. Di sana Alap-alap mangangkat diri sebagai seorang Pendeta dengan nama Kyai Srenggi untuk melakukan penyamaran.
Akhirnya pada tahun 1742 Kraton Kartasura jebol dan diduduki oleh Raden Mas Garendi yang mendapat gelar Sunan Kuning. Keadaan tersebut membuat para Kompeni berfikir untuk menyingkirkan Raden Mas Garendi dengan berbagai cara.
Akhirnya kompeni dengan bantuan orang batawi melakukan pertempuran. Mayat bergelimpangan dan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi dapat dikalahkan dan diusir dari kartasura. Setelah itu dipanggillah Sunan Paku Buwana II yang berada di ponorogo menduduki tahtanya kembali. Sunan menyaksikan keadaan Kartasura yang porak poranda Maka diputuskan untuk membangun kraton yang baru yang berada di desa Sala, yang diberi nama Surakarta Hadiningrat.
Pada waktu itu Pangeran Mangkubumi lolos dari Surakarta, pergi ke arah Timur Laut kota Surakarta yaitu desa Kranggan dan bertemu dengan Kyai Srenggi untuk mohon petunjuk. Akhirnya Kyai Srenggi menceritakan kepada Pangeran Mangkubumi tentang jati dirinya.
“Benarkah Kyai Srenggi itu sebenarnya Tumenggung Alap-alap? Oh, Gusti!!!”, Pangeran Mangkubumi menjabat tangannya dengan perasaan terkejut.
Di sana Pangeran Mangkubumi diberi hidangan berupa nasi pecel diletakkan dengan lauk seadanya. Walupun sederhana, tetapi membuat hati Pangeran Mangkubumi lega. Setelah selesai bersantap, berkatalah Pangeran Mangkubumi,” Paman Alap-alap, terima kasih banyak atas semuanya mulai hari ini paman Alap-alap atau Kyai Srenggi saya angkat menjadi senapati perang memimpin kompeni. Paman Alap-alap bergantilah nama menjadi Kyai Sragen, sedang desa Kranggan ini saya ganti namanya menjadi desa Sragen!”
Begitulah selanjutnya Kyai Ageng Sragen dianggap sebagai cikal bakal desa Sragen dan menjadi leluhur para penguasa pemegang pemerintahan di Kabupaten Sragen – Sokawati.
AMANAT : Bila kita dipilih menjadi seorang pemimpim kita harus menghilangkan sikap tidak teguh, pendirian lemah, mudah terbujuk oleh bujuk rayu. Sikap demikian akan membahayakan bawahan dan organisasi yang kita pimpin.

Anak-Anak Kita Ternyata Bisa Menulis…..!

Oleh Romi Febriyanto Saputro*


Pada tanggal 10 sampai dengan 12 November 2009, Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen menyelenggarakan Lomba Menulis Cerita Film untuk tingkat SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA/SMK se-Kabupaten Sragen.

Lomba ini diikuti oleh 158 peserta dari Sekolah Dasar, 91 peserta dari SMP, dan 87 peserta dari SMA/SMK/MA. “Cukup meriah bukan ? “

Untuk tingkat Sekolah Dasar, film yang diputar adalah “Doa Untuk Ibu”. Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama, film yang ditayangkan adalah “Kungfu Panda”. Sedangkan film “Spirit : The Stallion of The Cimmaron” dikonsumsi oleh para peserta dari Sekolah Menengah Atas.

Ketiga film yang ditayangkan adalah film-film animasi yang inspiratif, menggugah motivasi, dan mampu menyentuh hati nurani terdalam. “Doa Untuk Ibu” mengajarkan kepada anak-anak kita tentang ketabahan hati Ratih ketika ditinggalkan oleh kedua orang tuanya untuk selama-lamanya.

Film ini menggambarkan ketabahan hati Ratih melalui proses metamorfosis kupu-kupu. Kehidupan kupu-kupu berawal dari seekor ulat. Ulat sejak lahir sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Tetapi, ulat mampu hidup mandiri penuh semangat sehingga setelah itu mampu mengubah diri menjadi kepompong. Ketika fase menjadi kepompong selesai, lahirlah seekor kupu-kupu yang indah dan sedap dipandang mata.

“Kungfu Panda” merupakan sebuah film yang sangat inspiratif. ”Tak segalanya seperti tampaknya” merupakan pesan khusus film ini kepada para penonton. Panda yang merupakan binatang gendut, lamban, tak punya taring, dan tak memiliki “senjata” untuk mempertahankan diri. Namun, panda memiliki tekad dan semangat yang tinggi untuk menjadi “Dragon Warrior” atau “Prajurit Naga”.
Kecintaan pada kungfu, rasa percaya diri yang kuat, dan ketekunan berbuah hasil yang menggembirakan. Panda yang semula diremehkan dan nyaris kehilangan rasa percaya diri akhirnya bisa mengalahkan Tai Lung si Macan superhero.

Film ketiga adalah “Spirit : The Stallion of The Cimmaron”. Film ini mengisahkan petualangan seekor mustang yang pantang menyerah untuk selalu merengkuh kemerdekaannya. Semangat patriotisme ini sangat tampak ketika sang mustang melakukan sabotase terhadap rencana pembuatan rel kereta api yang akan menerjang tanah airnya.

Sebagaimana Kungfu Panda, film ini juga mengajarkan kepada kita untuk selalu membuat langkah terobosan ketika dalam situasi terjepit. Adegan kejar-kejaran di Grand Canyon, lembah terpanjang di dunia yang berujung dengan “terbangnya” sang mustang menyeberangi jurang yang sangat lebar merupakan refleksi dari semangat pantang menyerah ini.

Setelah antusias menonton film, anak-anak kita ternyata juga sangat antusias dalam menuliskan cerita film yang ditontonnya di kertas yang disediakan panitia. Dalam waktu hanya satu setengah jam telah lahir anak-anak yang memiliki semangat tinggi dalam menuliskan ide, kreativitas, dan imajinasinya.

Menulis tak lagi sesulit yang dibayangkan. Dalam tempo dua jam anak-anak berhasil membuat tulisan sepanjang dua hingga empat halaman folio. Rata-rata isi tulisan cukup bagus. Sayangnya, kami hanya bisa mengambil tiga tulisan terbaik untuk dinobatkan sebagai pemenang. Semua tulisan adalah bagus karena mencerminkan keberanian untuk menuangkan ide, gagasan, dan kreativitas. Semua anak adalah pemenang karena berhasil memenangkan rasa percaya diri untuk mulai berani menulis.

Sekali lagi, ternyata anak-anak kita pandai menulis. Hanya saja potensi ini terkadang belum mendapat ruang yang memadai, bahkan di sekolah tempat mereka belajar. Tuntutan akademik membuat potensi menulis ini kurang berkembang. Dengan lomba ini harapan kami potensi menulis anak-anak kita bisa meledak.

Bagi semua peserta Lomba Menulis Cerita Film kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya dalam lomba ini. Selamat menulis dalam kehidupan Anda selanjutnya ! Kami tunggu tulisan-tulisanmu di perpustakaansragen@gmail.com. Kami akan memuat tulisan Anda di blog tercinta ini !

Bersama perpustakaan, mari kita terus membaca dan menulis !

*Romi Febriyanto Saputro, S. IP, pengelola blog Kantor Perpusda Kab. Sragen

LOMBA MENULIS CERITA FILM TINGKAT SMA 12 NOVEMBER 2009




LOMBA MENULIS CERITA FILM TINGKAT SMP 11 NOVEMBER 2009





LOMBA MENULIS CERITA FILM TINGKAT SD 10 NOVEMBER 2009





03 Desember 2009

PEMENANG LOMBA MENDONGENG CERITA LOKAL TINGKAT KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2009

I. TINGKAT SD/MI
1. Juara I : Natalie Margaretha
SD N Gondang 1
2. Juara II : Gita Dwi Utami
SDN Ngargotirto 1 Sumberlawang
3. Juara III : Kirana Amurwa Kusuma
SDIT Birrul Walidain Muhammadiyah Sragen
II. TINGKAT SMP/MTS
1. Juara I : Dhea Vivi Ayu Dian P
SMP N 1 Gemolong
2. Juara II : Ari Nur Cahyani
SMP N 1 Sambungmacan
3. Juara III : Heni Tri Nulatsih
SMP N 1 Gesi
III. Tingkat SMA/MA/SMK
1. Juara I : Andi Susilo
SMK N 2 Sragen
2. Juara II : Dani Candra P
SMA N 1 Tangen
3. Juara III : Himma Zuhria
SMA N 1 Gondang

01 Desember 2009

PEMENANG LOMBA MENULIS CERITA FILM TAHUN 2009

I. TINGKAT SD/MI
1. Juara I : Muhammad Ulinuha Karim
SD N Majenang 3 Sukodono
2. Juara II : Azkiya Shabrina Basyarudin
SDIT Az-Zahra Sragen
3. Juara III : Usamah Nur Kholish
SDIT Birrul Walidain Muhammadiyah Sragen
II. TINGKAT SMP/MTS
1. Juara I : Siti Maryam
SMP Muhammadiyah 1 Sragen
2. Juara II : Anas Imam Wijaya
SBBS Sragen
3. Juara III : Muthi ’ah
SMP N 1 Karangmalang
III. Tingkat SMA/MA/SMK
1. Juara I : Umul Khoiriyah
MAN 3 Sragen
2. Juara II : Uqik Nur Hidayat
SMK N 2 Sragen
3. Juara III : Andika Cindy N
SMA N 3 Sragen